Pendidikan di Papua Tertinggal, Ini yang Dilakukan Anak Muda Di Sana

Pendidikan di Papua Tertinggal, Ini yang Dilakukan Anak Muda Di Sana

Meski secara umum Indonesia merupakan negara yang sudah cukup maju, harus diakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum merata. Di Indonesia timur, khususnya Papua, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki akses ke sekolah yang baik.
Tak heran, jika menurut seorang aktivis muda, Lisa Duwiry, 34 sampai 40 persen anak-anak di Papua masih mengalami buta huruf. Angka ini, kata dia, adalah yang tertinggi di Indonesia.
"Pelajaran sama, tapi kok ketinggalan. Angka buta huruf di Papua paling tinggi. Dan misalnya anak Papua ke Semarang, pelajarannya sama, tapi pelajar baru dari Papua harus ikut kelas adaptasi," ungkap Lisa yang berada di balik munculnya gerakan #UntukKorowai di mesia sosial, dalam acara diskusi MaCe Papua yang digagas Yayasan Econusa, Rabu (27/2/2019) di Jakarta.
Senada dengan Lisa, Raden Lukman, penulis buku "Kukenalkan Papuaku" pada tahun 2018 lalu, mengatakan bahwa pendidikan di Papua selama ini tidak mendapat kesempatan yang sama seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia.
"Kalau kita bicara akademik, bukan karena kita terbelakang, tapi kita hanya kurang pada start. Pendidikan di Papua itu pada prinsipnya bukan berbeda dengan daerah lain. Mungkin karena akses dan faktor geografis," lanjut Raden yang sejak lahir tinggal di Sorong, Papua.
Belum lagi, ungkap keduanya, kurangnya tenaga pengajar yang mumpuni, yang bisa membuat anak-anak di Papua dapat bersaing dengan anak-anak di daerah lain.
Pada jam-jam sekolah saja, kata Raden, banyak anak-anak yang tidak belajar, mereka justru bermain dan berlari-larian di sekitar rumahnya. Daerah tempat Raden melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kais, pedalaman Kabupaten Sorong Selatan, adalah daerah yang paling kurang dalam hal pendidikan, termasuk tenaga pengajar.
Untungnya, tidak sedikit anak muda Papua yang memiliki kesempatan merantau ke Pulau Jawa untuk menempuh pendidikan maupun berkarier. Banyak dari mereka yang berprestasi dan mau membangun Papua melalui talenta yang dimiliki.
Raden adalah salah satunya. Bersama seorang kawan, ia sedang mengembangkan aplikasi bernama Jelajah Sorong. Aplikasi ini memudahkan pengunjung Sorong untuk menyesuaikan pilihan perjalanan dengan bujet mereka, dengan basis masyarakat lokal. Raden juga mengatakan bahwa ia ingin pulang ke Sorong, “Saya ingin jadi desainer tata kota yang berdasar geospasial," ungkapnya.
Lisa yang juga memiliki darah Papua menambahkan, hal sederhana lain yang bisa dilakukan untuk membangun masyarakat Papua, salah satunya adalah seperti yang ia lakukan, yakni memanfaatkan internet dengan menggaungkan tagar Twitter #UntukKorowai dan juga #KalepinKorowai yang dipicu pengalaman satu anak bernama Kalepin yang terbuang dari komunitasnya.
Terinspirasi dari anak ini, Lisa membantu anak-anak dari Korowai yang bernasib sama, yakni membuat satu bangunan asrama dan sekolah, serta membiayai satu guru untuk mau mengajar di pedalaman.
"Papua tidak hanya dibangun oleh materi, membangun Papua juga harus dengan hati,” kata Raden meyakinkan.
Share:

Arsip Blog

Recent Posts