Festival Literasi Sekolah ke-3, Anak-anak Antusias Ikuti Acara

Festival Literasi Sekolah ke-3, Anak-anak Antusias Ikuti Acara

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, kembali menyelenggarakan Festival Literasi Sekolah (FLS) yang ketiga. Acara ini dimulai pada Jumat (26/7/2019) sampai Senin (29/7/2019), di Plaza Insan Berprestasi, Kompleks Kemendikbud, Jakarta.
Ada beragam aktivitas yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak untuk meningkatkan literasi. Di antaranya ada pameran literasi dari perwakilan sekolah, penerbit, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), lalu ada diskusi interaktif, pelatihan literasi, peluncuran buku, dan pemutaran film yang umumnya terbuka untuk umum secara gratis.
Kegiatan ini pun disambut antusias oleh para siswa dan guru yang hadir dalam acara tersebut. Menurut pengamatan Suara.com, antusiasme para siswa terlihat dari beberapa stan yang ramai dikunjungi. Sedikitnya ada 50 stan dalam festival tahunan ini.
Di sebuah stan, para siswa sekolah menengah terlihat asyik saat mengikuti kegiatan berhitung. Mereka diminta untuk berhitung perkalian yang tertera di papan putih.
Mereka tidak terlihat tegang. Anak-anak ini justru senang dan tertawa bersama teman-teman lainnya, ketika mengisi kolom-kolom kosong tersebut.
Siswa Sekolah Menengah Dasar saat mengikuti games berhitung di Festival Literasi Sekolah Kemendikbud. (Suara.com/Dian Kusumo Hapsari).
Siswa Sekolah Menengah Dasar saat mengikuti games berhitung di Festival Literasi Sekolah Kemendikbud. (Suara.com/Dian Kusumo Hapsari).
Selain itu, dari puluhan stan ini juga banyak dipamerkan karya-karya kreatif siswa dari bergagai sekolah yang bisa menginspirasi para peserta yang hadir. Pameran seperti ini diharapkan dapat meningkatkan daya kreatvitas pada anak-anak. 
Ada juga pameran karya seni, berupa lukisan, hasil penelitian yang dilakukan oleh para siswa sekolah menengah atas, yakni pengembangan madu organik. Kegiatan literasi yang diselenggarakan dalam FLS tidak terbatas pada literasi baca-tulis saja, tetapi juga mencakup literasi digital, finansial, sains, numerasi, serta literasi budaya dan kewargaan.
Festival Literasi Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Suara.com/Dian Kusumo Hapsari).
Festival Literasi Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Suara.com/Dian Kusumo Hapsari).
Lalu di lokasi pameran literasi, di stan penerbit buku misalnya, ada potongan harga khusus 50 sampai 70 persen.
Acara ini dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia dan diikuti 45,2 juta siswa dan guru, pegiat literasi, penerbit dan masyarakat luas.
Share:

Festival Literasi Sekolah ke-3 dari Kemendikbud, Ini Tujuannya...

Festival Literasi Sekolah ke-3 dari Kemendikbud, Ini Tujuannya...

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen), kembali menggelar Festival Literasi Sekolah (FLS) ke-3 tahun 2019. Kegiatan ini berlangsung pada 25 - 29 Juli 2019, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
FLS 2019 secara resmi dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, di Plaza Insan Berprestasi Kemendikbud, kemarin, Jumat (26/7/2019).
Plt Diretur Jenderal Dikdasmen Kemendikbud, Didik Suhardi berharap, gerakan literasi yang dijalankan, terutama di satuan pendidikan dapat mendorong tumbuh-kembangnya kemandirian dan inovasi warga sekolah.
“Di era Revolusi Industri 4.0, kemandirian dan inovasi merupakan dua komponen penting agar dapat menghadapi persaingan di abad 21,” ucapnya.
Selain itu, Didik juga menyampaikan, FLS ke-3 tahun 2019 ini adalah upaya  Kemendikbud untuk meningkatkan budaya literasi, mulai dari membaca, menulis literasi terhadap IT, serta untuk memotivasi agar gerakan literasi di sekolah dapat berjalan dengan baik dan benar.
“Gerakan literasi sekolah dilaksanakan di seluruh sekolah, dengan melibatkan 45,2 juta siswa di seluruh Tanah Air, baik yang ada di perkotaan, maupun di pedesaan. Harapan kami, literasi akan meningkatkan kualitas pendidikan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pembinaan SMA (PSMA), Purwadi Sutanto juga mengatakan, kegiatan ini merupakan apresiasi bagi sekolah, kegiatan masyarakat dan kelompok sukarelawan yang telah bekerja keras untuk meningkatkan literasi di Indonesia. Kendati demikian, masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yakni mengatasi ketimpangan literasi di daerah-daerah terpencil.
“Ini memang menjadi tantangan kita bersama, yang membutuhkan kerja sama semua pihak untuk meningkatkan literasi di daerah-daerah terpencil,  agar kualitas pendidikan di Indonesia lebih baik lagi,” ujarnya.
Ajang tahunan yang sudah menginjak tahun ke-3 pelaksanaan ini terdiri dari dua acara besar.
Pertama, lomba literasi. Lomba ini melibatkan 704 siswa jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB) se-Indonesia. Ke-704 siswa tersebut akan berlaga di 25 jenis lomba, antara lain, lomba menulis cerpen, mencipta komik digital, dan vokasi moda literasi bergerak.
Perlombaan akan berlangsung di Jakarta, Tangerang, dan Bogor.
Kedua, Festival Literasi. Acara ini digelar di Plaza Insan Berprestasi dan Perpustakaan Kemendikbud dalam bentuk diskusi, pelatihan, peluncuran dan bedah buku, serta pemutaran film. Acara tersebut melibatkan sekitar 100 narasumber dari berbagai unsur, diantaranya dari kalangan guru, siswa, kepala sekolah, penggiat literasi, praktisi pendidikan, blogger, vlogger, sastrawan, akademisi, penulis belia dan dewasa, pekerja film, lembaga swadaya masyarakat, dan birokrat.
Share:

Biaya Sekolah Mahal Jadi Salah Satu Penyumbang Inflasi Terbesar

Biaya Sekolah Mahal Jadi Salah Satu Penyumbang Inflasi Terbesar

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Juli 2019 mengalami inflasi 0,31 persen. Inflasi itu selain disumbang dari bahan pangan juga berasal dari sektor pendidikan, rekreasi, dan olahraga yang menyumbang inflasi sebesar 0,07 persen pada Juli 2019.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, kenaikan biaya pendidikan menjadi penyumbang inflasi terbesar pada Juli 2019. Hal ini karena bertepatan pada ajaran baru sekolah yang baru masuk pada Juli.
"Pendidikan kita sudah menduga setiap bulan Juli di dana pendidikan inflasi 0,92 persen dan sumbangannya 0,07 persen kepada inflasi. Yang beri andil adalah uang sekolah SMA sebesar 0,02 persen, uang sekolah SD, SMP dan kenaikan bimbel masing-masing 0,01 persen. Ini bisa dipahami ketika kita hitung inflasi termasuk sekolah-sekolah swasta jadi untuk pendidikan sumbangan 0,07 persen itu biasa terjadi," katanya di kantor BPS, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Kemudian, tutur Suhariyanto, harga emas juga ikut andil dalam inflasi pada Juli 2019. Emas, sebutnya, memiliki andil terhadap inflasi sebesar 0,04 persen.
"0,04 persen kenaikan harga emas perhiasan yang ikuti harga internasional. Ini terjadi di 76 kota yang sebabkan sandang inflasi 0.70 persen dan andilnya 0,04 persen," tutur dia.
Suhariyanto menambahkan, untuk sektor makanan jadi mengalami inflasi 0,24 persen dengan andil 0,04 persen terhadap inflasi Juli. Inflasi makanan jadi pada Juli disebabkan oleh kenaikan harga ayam.
"Sektor perumahan, air, listrik sumbangannya 0,04 persen. Ini kecil-kecil sekali yang sumbangan utama upah tukang bukan mandor yang beri andil kecil 0,01 persen," pungkas dia.
Share:

5 Rumah Sakit Pendidikan Kampus Negeri Bakal Ditutup!

5 Rumah Sakit Pendidikan Kampus Negeri Bakal Ditutup!

Sebanyak 5 dari 25 Rumah Sakit Pendidikan (RSP) di Indonesia hingga saat ini belum beroperasional. Padahal RSP menjadi salah satu syarat berdirinya Fakultas Kedokteran di kampus.
Bila kelima RSP tersebut tidak segera beroperasi maka Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (kemenristekdikti) bisa menutup atau mencabut ijin pengoperasiannya.
Kelima PT tersebut antara lain Universitas Lampung (Unila), Universitas Sam Ratulangi, Universitas Jember, Universitas Nusa Cendana NTT dan Universitas Malikussaleh.
"Kelimanya masih terkendala tata kelola dan kelembagaannya. Padahal di kemenristekdikti memberi otonom pada perguruan tinggi negeri untuk mengelolanya, baik untuk tata kelolanya, sistemnya," papar Direktur Penjaminan Mutu Kemenrisrekdikti, Aris Junaidi disela Konferens Nasional Asosiasi RSP PTN di Royal Ambarrukmo, Jumat (23/8/2019).
Untuk mengatur RSP, Kemenristeksikti sebenarnya sedang membuat peraturan menteri. Regulasi itu dibuat sebagai harmonisasi pengelolaan RSP sebagak bagian dari tri dharma PT. Bila regulasi tersebut ditetapkan, maka RSP di lima PTN tersebut harus segera berjalan. Kalau tidak maka kelimajya tidak boleh beroperasi.
"Jadi bila peraturan menteri terbit tahun ini, ada masa transisi. Tapi bila sudah ditetapkan maka (RSP) harus segera berjalan. Kalau tidak nanti ada sanksi," ungkapnya.
Sebelum diberikan sanksi, Kemenristekdikti akan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) kepada 5 RSP. Selain itu juga pada 20 RSP lain dalam rangka meningkatkan akreditasi.
"Ada 90 fakultas kedokteran dan belum semua terakreditasi A. Karenanya kita mendorong mereka untuk meningkatkan akreditasi," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Share:

Direvitalisasi Asuransi Astra, Ini Wajah Baru PAUD Perwari Trisula

Direvitalisasi Asuransi Astra, Ini Wajah Baru PAUD Perwari Trisula

Sekitar dua pekan lalu, Salah satu mata acara paling menarik sekaligus ikut menumbuhkan kesadaran adalah Corporate Social Responsibility (CSR) bagi anak-anak prasekolah.
Berlokasi di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Terpadu Perwari Trisula, Jalan Abdullah Lubis No 38, Babura, Kecamatan Medan Baru, Medan, Provinsi Sumatera Utara, pada Senin (19/8/2019), Asuransi Astra menggelar seremoni untuk revitalisasi tempat belajar mengajar itu.
Tak sebatas penyerahan plakat, namun diisi dengan kegiatan mengecat bersama, antara jajaran manajemen Asuransi Astra, para jurnalis, serta anak-anak didik atau murid dari PAUD Terpadu Perwari Trisula.
Salah satu seniman setempat, Pak Masri, sebelumnya telah membuat sketsa pada bidang-bidang dinding sekolah, dan diberi kode warna, sehingga setiap peserta yang terlibat cukup mencocokkan warna yang tersedia dengan kode serta mengecat menggunakan kuas.
Acara seru ini berlangsung lebih dari satu jam lamanya, serta menghadirkan interaksi yang intensif antarseluruh peserta. Meski untuk hasil akhir pengecatan, tampaknya seniman setempat mesti memoles kembali hingga hasilnya rapi.
Dalam kesempatan Media Gathering Asuransi Astra di Medan, Gunawan Salim, Chief Marketing Officer – Retail Business Asuransi Astra menyampaikan terima kasihnya kepada Rudy Chen, Chief Executive Officer (CEO) Asuransi Astra, karena mendukung penuh kegiatan revitalisasi ini.
"Terus terang, kami ingin sebuah CSR yang berkelanjutan. Tidak sekadar memberi dan selesai. Namun sesuatu yang memiliki kesinambungan di masa akan datang. Dalam hal ini adalah pendidikan anak sejak usia dini," ujar Gunawan Salim.
Kilas balik upaya revitalisasi sekolah termasuk bagi PAUD ini salah satunya didorong oleh fakta bahwa banyak karyawan Asuransi Astra datang dari generasi milenial. Bersama merekalah, konsep menaruh perhatian terhadap pendidikan anak-anak Indonesia digagas, dengan menghadirkan tagar #PijarIlmu.
"Kami memiliki relawan, pendukung konsep pengadaan sekolah bagi anak-anak. Termasuk di antaranya mereka yang berkebutuhan khusus atau kurang mampu. Soal revitalisasi PAUD sendiri, kita semua pernah muda, menjalani masa anak-anak menyenangkan, sehingga bila kita bisa berbagi, tentu akan lebih baik lagi," tandas Gunawan Salim.
Senada adalah pendapat Rudy Chen, bahwa CSR Asuransi Astra adalah menyasar jangka panjang, lewat pengadaan infrastruktur pendidikan bagi anak-anak sejak usia dini.
"Karena seperti halnya pendidikan, usia berjalan juga berjenjang. Jangan sampai anak-anak itu, di usia muda, kehilangan masa kanak-kanak mereka. Itulah pentingnya PAUD serta keberlangsungan tempat mereka menuntut ilmu," papar Rudy Chen.
Usai program revitalisasi (PAUD) Terpadu Perwari Trisula di Medan, Asuransi Astra langsung bergerak menuju CSR berikutnya di Nusa Tenggara Timur. Kali ini adalah pengadaan sekolah bagi anak-anak di Desa Watu Kawula, Sumba.
Para jurnalis yang mengikuti Media Gathering Asuransi Astra di Medan berkesempatan mengikuti pula, dengan cara mengunggah berbagai kegiatan selama acara berlangsung tiga hari di Provinsi Sumatera Utara. Juara pertama beroleh hadiah terbang bersama Asuransi Astra ke lokasi #PijarIlmu berikutnya di Sumba.
Share:

DPR Berperan Aktif Ajarkan Pendidikan Politik pada Generasi Muda

Parlemen Remaja Tingkat SMA/SMK/MA tahun 2019 di Wisma Griya Sabha Kopo DPR, Bogor, Jawa Barat. (Dok : DPR)

DPR berkomitmen penuh memberdayakan generasi muda sebagai salah satu pemangku kepentingan yang menentukan arah masa depan bangsa. Penyelenggaraan kegiatan Parlemen Remaja tingkat SMA/SMK/MA tahun 2019 merupakan wujud pemenuhan amanat DPR, yakni berperan aktif mengajarkan pendidikan politik sejak dini kepada generasi muda.
“Hal ini dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi generasi muda di setiap lini keputusan yang menjadi esensi demokrasi," ucap Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, saat membuka acara Parlemen Remaja Tingkat SMA/SMK/MA tahun 2019 di Wisma Griya Sabha Kopo DPR, Bogor, Jawa Barat, Senin (2/9/2019).
Indra berharap, seluruh peserta nantinya dapat mengeksplorasi segala potensi dan rasa keingintahuannya dalam kegiatan tersebut.
“Gunakan kesempatan berharga ini dengan sebaik-baiknya untuk mengenal lebih dekat hakikat kebangsaan, perkembangan demokrasi di Indonesia, fungsi-fungsi dan peranan DPR bagi NKRI, serta peran generasi muda sebagai partisipator dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan masa depan bangsa,” tuturnya.
Dengan mengikuti semua rangkaian kegiatan Parlemen Remaja, sambung Indra, seluruh peserta Parlemen Remaja 2019 diharapkan mampu menyerap ilmu dan mengasah kemampuan menganalisa masalah dan merumuskan solusi dalam kerangka demokrasi yang mengedepankan musyawarah dan mufakat.
Adapun tema yang diangkat dalam kegiatan Parlemen Remaja 2019 ini adalah "Remaja Peduli Lingkungan. Cinta Bumi Cinta Lingkungan". Tema ini diangkat seiring dengan meningkatnya persoalan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan sampah oleh masyarakat.
“Saya menilai, tema yang diusung dalam kegiatan Parlemen Remaja tahun 2019 ini bukan sebagai sesuatu yang hanya mengikuti tren belaka, tapi ancaman yang berkaitan dengan pengolahan sampah sudah sangat nyata di depan mata. Padahal saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2008,” jelas Indra.
Menurutnya, saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi nyata yang mengkhawatirkan, dimana berdasarkan hasil penelitian, Indonesia menduduki peringkat kedua terbesar sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar yang dibuang ke laut. Indonesia menghasilkan 322 juta ton sampah plastik yang tidak diolah dengan baik, dan sekitar 1,2 juta ton dari sampah tersebut diduga mencemari lautan.
“Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola hidup dan konsumsi masyarakat menyebabkan jumlah sampah kian hari semakin meningkat. Masalah menjadi bertambah, karena pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini belum berwawasan lingkungan. Hingga akibatnya pengelolaan sampah yang berbasis pembuangan akhir mulai kewalahan dalam menangani jumlah sampah yang masuk," paparnya.
Indra menyampaikan, jenis sampah plastik berpotensi mencemari lingkungan hidup apabila tidak dikelola dengan benar. Sifat plastik sangat sulit terurai. Oleh karenanya, sampah plastik menjadi ancaman bagi lingkungan hidup.
Ia menegaskan, fenomena membeludaknya jumlah sampah di tempat pembuangan akhir seharusnya menjadi peringatan besar bagi kita dari bahaya sampah yang dikelola dengan tidak benar.
"Permasalahan sampah ini sudah mengancam kelangsungan hidup manusia, flora dan fauna, baik yang ada di laut maupun di darat. Diperkirakan ada 500 juta sampai dengan 1 miliar kantong plastik yang digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Belum termasuk barang dan perkakas rumah tangga yang berbahan plastik," terangnya.
Terkait Parlemen Remaja tahun 2019, Indra mengatakan, para peserta yang terpilih adalah mereka yang telah memenuhi kriteria dan telah sesuai dengan yang diinginkan. Dari 11 ribu lebih pendaftar, akhirnya terpilih 128 orang peserta.
“Para peserta Parlemen Remaja 2019 yang terpilih merupakan wakil dari seluruh daerah pemilihan yang ada di Indonesia. Kegiatan Parlemen Remaja 2019 hadir dengan wajah kebhinekaan Indonesia. Hal itu sangat membanggakan dan menunjukkan betapa kebhinekaan yang ada merupakan kekayaan yang memang dimiliki oleh Bangsa Indonesia," tandasnya.
Menurutnya, peserta adalah generasi milenial yang memiliki karakter open minded, kreatif, dan fleksibel. 
“Ambilah peran dalam membangun bangsa ini dengan melakukan hal-hal yang baik, terus bekerja keras dan serius. Kesuksesan terjadi karena persiapan, kerja keras, konsisten, dan mau belajar dari kegagalan," tegasnya.
Usai mengetuk palu sidang sebagai tanda diresmikannya kegiatan a, Indra didaulat untuk menyematkan jaket dan pin kepada dua orang perwakilan peserta, yang kemudian diikuti dengan pemakaian jaket oleh seluruh peserta yang hadir secara bersama-sama.
Turut hadir dalam pembukaan Parlemen Remaja 2019, diantaranya Deputi Persidangan, Damayanti, Kepala Biro Pemberitaan Parlemen, Y.O.I Tahapary, Kepala Bagian Humas, Minarni, dan sejumlah pejabat lainnya di lingkungan Sekrtariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR.
Share:

Kisah Guru Muda yang Siap Mengukir Cinta di Tanah Papua

Kisah Guru Muda yang Siap Mengukir Cinta di Tanah Papua

Kawasan pelosok di Papua dinilai memang membutuhkan kepedulian lebih di bidang pendidikan.
Kisah guru-guru ini seakan luput dari pandangan masyarakat di seluruh Indonesia. Di tengah gejolak yang terjadi, mereka justru bergerak menuju Papua pekan ini. Bukan untuk terlibat dalam konflik, tetapi menunjukkan dengan nyata, betapa mereka mencintai Papua.
Senjata mereka adalah ilmu, pena dan buku-buku. Apa yang terlihat di media tentang Papua membuat banyak orang takut datang. Tetapi ada ratusan anak muda yang justru mendekat. Hasrat mereka cuma satu: berbagi ilmu. Larangan orang tua tidak menyiutkan nyali mereka.
guru yang mengabdi di papua
Guru-guru muda yang siap mengabdi di Papua [Foto: GTP UGM]
Seperti yang dilakukan Marlin Hartiwila Gat, yang berangkat ke Mappi, Papua untuk mengajar Matematika.
Lahir 24 tahun silam di Nabire dan tumbuh di kota yang sama, Marlin adalah lulusan Universitas PGRI Adi Buana di Surabaya, Jawa Timur. Setelah lulus, ia sempat mengajar di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang juga kampung halaman ayahnya, selama satu setengah tahun.
Awalnya, kedua orang tuanya tak setuju karena melihat situasi terakhir sejumlah kota di Papua yang mengkhawatirkan. Namun, kegigihan Marlin meruntuhkan tembok larangan itu.
“Saya nekat. Tapi kebetulan ada Ibu Dekan di Nabire, yang katakan ke mereka, bahwa di sini aman. Makanya orang tua izinkan,” ujar Marlin, yang ibunya berasal dari Surabaya seperti mengutip VOAIndonesia.
Bagi Marlin, mengajar di Mappi seperti membalas jasa Papua yang memberinya tempat di masa kecil. Dia ingin anak-anak Papua pintar membaca, menulis, berhitung, dan pandai mengelola uang. Kata Marlin, kawan-kawannya semasa kecil di Nabire kurang pandai mengelola uang, yang selalu dihabiskan ketika ada tanpa melihat jauh ke depan.
“Karena saya dilahirkan di sini, menempuh SMA di sini, dan saya ingin masyarakat Papua atau anak- anak Papua mendapatkan pendidikan yang sama, dengan anak-anak Indonesia yang lain,” tambahnya.
Ada juga kisah Tumbuh Sokhi Giawa, pemuda berusia 28 tahun dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Dia datang ke Papua karena tahu wilayah itu butuh dukungan di bidang pendidikan.
“Sebelum ini saya sering melihat dan mendengar berita, kalau di Papua ini memang sangat membutuhkan dukungan dari kita semua, terutama di bidang pendidikan. Kebetulan saya sebelum ini memang mengajar di Sumatera Utara,” kata Tumbuh, lulusan Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah, Medan.
Dari kampungnya di pelosok Nias, Tumbuh memang sudah berniat berbagi ilmu dengan anak-anak Papua. Orang tuanya tentu keberatan, apalagi melihat perkembangan yang terjadi. Namun semangat Tumbuh tak goyah. Dia memberikan pengertian tentang peran besar yang bisa dilakukan untuk ikut memajukan Papua, selain meyakinkan bahwa wilayah yang dituju aman.
Keluarga pun akhirnya luluh dan mendukung penuh Tumbuh.
“Saya pribadi terharu, di dunia pendidikan, ada sebagian daerah kita di Indonesia ini yang masih ketinggalan. Saya kasih cerminan. Daerah kampung saya yang juga pelosok, sehingga orang tua maklum dan memberikan dukungan,” kata Tumbuh yang mengajar Biologi.
Marlin dan Tumbuh adalah bagian dari 186 Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang akan mengabdi Kabupaten Mappi, Papua. Mereka terpilih dari 519 pendaftar dalam proses seleksi yang berlangsung pada Mei-Juni 2019 di sejumlah daerah, antara lain di Merauke, Mappi, Timika, hingga Yogyakarta, Ambon, Medan, Makassar dan Ende.
guru yang mengabdi di papua
Guru-guru muda yang siap mengabdi di Papua [Foto: GTP UGM]
Calon GPDT menjalani beberapa tahapan seleksi, seperti seleksi berkas, tes tertulis menyusun RPP, microteaching, tes psikologi, dan wawancara. Program GPDT Kabupaten Mappi merupakan kerja sama Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM), Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) Fisipol UGM dan Pemerintah Kabupaten Mappi.
Pekan lalu mereka tiba di Merauke, mengikuti pembekalan pra penempatan selama sepekan, sebelum kemudian berangkat ke Mappi. Mereka akan disebar di seluruh distrik, pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.
Rekrutmen kali ini merupakan gelombang ke-4, setelah program yang sama pada 2017 dan dua program pada 2018. Selain Mappi, Gugus Tugas Papua pernah mengirim GPDT ke Kabupaten Puncak pada 2013 dan 2015 serta Kabupaten Intan Jaya pada 2015.
Ngaliman dari Gugus Tugas Papua (GPT) UGM merinci, program pra penempatan diisi dengan pembekalan oleh psikolog, dialog dengan pejabat dinas pendidikan setempat, dan berbagi bersama peserta dalam program tahun sebelumnya.
“Dengan membaur, masyarakat Papua tahu bahwa saudara mereka dari Medan, Manado atau Makassar juga memahami mereka, sehingga mereka yakin sebagai bagian dari masyarakat Indonesia,” kata Ngaliman yang akrab disapa Iman.
Bukti Cinta Pada Papua
Menurut Iman, guru-guru itu akan disebar ke wilayah terpencil dari Kepi menggunakan perahu cepat dan ketinting. Diharapkan ada dua guru di setiap sekolah yang dituju. Agar dapat cepat beradaptasi, seluruh guru telah diberi pemahaman secara detil seluruh informasi mengenai budaya Papua.
Mengingat situasi Papua dan Papua Barat yang sedang menghangat, guru-guru juga diminta berbagi rasa nasionalisme dengan para guru dan siswa setempat. Mereka diharapkan bisa menunjukkan bahwa mereka datang dari seluruh penjuru Indonesia karena peduli dengan pendidikan di Papua.
“Papua harus dilihat secara dekat, tidak bisa dari jauh. Dari dekat, Papua membutuhkan banyak hal,” ujar Iman, sambil menambahkan angkatan GPDT sebelumnya memberi dampak pada masyarakat, terutama pendidikan.
Para GPDT terpilih berasal dari berbagai program studi, seperti Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Pendidikan IPA (Kimia, Biologi, Fisika), Pendidikan IPS (Geografi, Sejarah, Ekonomi), Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Agama Katolik, dan berbagai jurusan lain.
Marlin, Tumbuh dan seluruh peserta GPDT akan bertugas selama dua tahun di Mappi. Disadari atau tidak, mereka berperan jauh lebih luas dari sektor pendidikan yang digeluti. Di tengah upaya pemerintah mengirimkan pasukan untuk meredam konflik di Papua, tangan-tangan guru ini, yang menulis di papan tulis, memeluk anak-anak Papua, dan berbagi cerita, adalah “senjata” terbaik menjaga perdamaian di Papua. 
Share:

Pakar Pendidikan: Kini untuk Bisa Sukses Harus Jadi Anak yang Tak Patuh

Pakar Pendidikan: Kini untuk Bisa Sukses Harus Jadi Anak yang Tak Patuh

Orang tua seringkali dibuat kelimpungan dengan tingkah laku sang anak yang tidak menurut dan susah diatur. Tidak sedikit pula orang tua yang kewalahan dan merasa anaknya tidak akan sukses karena susah diatur. 
Eits, orang tua jangan kebakaran jenggot dulu loh karena Pengamat dan Praktisi Pendidikan dan Sains Indra Charismiadji memiliki pendapat unik, menurutnya anak yang tidak penurut dan patuh cenderung cerdas karena daya berpikir kritisnya bekerja maksimal.
"Kalau semua orang Indonesia paham yang dibutuhkan sekarang itu adalah kreativitas, berpikir kritis ini kan bukan berarti jadi anak yang penurut, anak yang patuh nggak bisa dibilang jadi anak yang kritis," ujar Indra dalam acara diskusi media 'Sains Digital Dari dan Untuk Anak Indonesia' oleh Kalbe Farma di Hongkong Cafe, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019).
Kritis yang dimaksud Indra ialah anak sering bertanya, bisa membedakan mana yang baik dan benar, mengapa orang tuanya melarang apa alasannya. Jika masuk kategori itu, maka anak bukanlah pembangkang, melainkan proses belajar dan tugas orang tua hingga lingkungan untuk membentuknya.
Menurut Indra, saat ini dunia sudah bergeser ke arah kecepatan teknologi, kreativitas, dan inovasi. Lalu pertanyaannya, apakah di masa mendatang anak-anak sudah siap? Di sinilah cara mendidik orang tuanya harus berubah.
"Kan sudah pola pendidikannya beda dengan era kita dididik dulu, untuk jadi anak patuh. Kalau sekarang untuk menjadi dia sukses harus menjadi anak yang tidak patuh," ungkap Indra.
Tantangan terbesar, selain kebijakan pemerintah, diperlukan juga pola pikir dan mindset orang tua yang diubah dan diedukasi, karena ini jadi bagian pembangunan manusia.
"Waktu itu juga ada pendidikan untuk orang tua. Bagaimana mendampingi orang tua, supaya di rumah anaknya jangan sampai itu terjadi. Di sekolah udah bagus, di rumah orang tuanya beda lagi. Misalnya di sekolah didorong pakai gadget, di rumah nggak boleh pakai gadget kan jadi bentrok," tutup Indra.
Share:

Rumah Bimbel Jadi Bidang Pendidikan yang tak Kalah Penting

Rumah Bimbel Jadi Bidang Pendidikan yang tak Kalah Penting

Rumah bimbingan belajar atau bimbel merupakan salah satu jenis usaha di bidang pendidikan yang kini bisa dilakukan siapa saja. Apalagi, pendidikan merupakan kebutuhan primer jangka panjang yang dibutuhkan oleh orangtua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya.
Hal itu juga yang diyakini oleh lembaga pendidikan non-formal asal Korea Selatan, Eye Level. Di sana, anak akan disuguhi materi pembelajaran tambahan seperti matematika, play math, English, English sparks dan happy talk untuk anak usia 3 hingga 15 tahun.
Menurut Marketing Executive Eye Level Indonesia, Aditiawarman, peluang bisnis bimbel tambahan adalah bisnis yang berkesinambungan, tak hanya bisnis musiman.
"Di Eye Level, hanya perlu modal lisensi Rp 5 juta sudah bisa buka Eye Level di rumah. Bisnis pendidikan juga bukan bisnis musiman, karena pendidikan akan selalu dibutuhkan dalam setiap generasi untuk masa depan anak bangsa," kata Aditiawarman melalui rilis yang diterima Suara.com.
Ia juga menjamin pihaknya tidak akan melepas begitu saja owner yang telah membeli lisensi.
Pihak pusat akan memberikan support berupa training untuk owner dan para guru yang mengajar. "Kemudian dana marketing tahunan untuk center tersebut, kegiatan marketing dari pusat, booklet import gratis sesuai jumlah murid, serta center consultant yang akan membantu setiap Eye Level Learning Center yang sedang berjalan," lanjut Aditiawarman.
Ia pun menambahkan bahwa bisnis di bidang pendidikan bukan serta merta mengambil untung semata. Ada tugas lain yang jauh lebih berharga. "Ini juga berperan untuk mencerdaskan para generasi bangsa untuk masa depan," tutupnya.
Eye Level memiliki tiga pilihan model bisnis, yaitu Home Class, Franchise Regular dan School Project. Saat ini Eye Level sudah memiliki lebih dari 70 learning center hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Share:

Pendidikan yang Mencerahkan

Pendidikan yang Mencerahkan




Judul Buku: Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme; Penulis: Agus Suwignyo; Penerbit: Selarung; Tebal: 400 hlm; Tahun Terbit: 2019

Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata ~ Sindhunata (2000)

Saat ini, gonjang-ganjing tentang sekolah berbasis zonasi mulai mereda seiring dengan mulai aktifnya anak didik kita menerima pelajaran di berbagai tingkat pendidikan. Oleh karena itu, ada baiknya "masa tenang" ini digunakan untuk merenung tentang berbagai hal berkaitan dengan dunia pendidikan kita.

Hampir dua puluh tahun yang lalu, dalam Majalah Basis Sindhunata memberi catatan pembuka tentang dunia pendidikan kita, seperti yang dinyatakan dalam kutipan pembuka tulisan ini. Dalam beberapa hal, pernyataan Sindhunata adalah hal yang tak terbantahkan. Air mata mengalir karena tidak mampu membayar uang sekolah dan berbagai tetek bengeknya. Air mata juga mengucur karena tertimpa reruntuhan gedung yang lapuk dan kualitas bangunan yang sangat rendah.

***

Persoalan ke(tidak)adilan sosial dalam praktik pendidikan ini menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam buku ini. Menurut Dr. Agus Suwignyo, refleksi tentang keadilan sosial dalam praktik pendidikan di Indonesia dewasa ini memunculkan setidaknya dua pertanyaan. Pertama, apakah praktik pendidikan telah dijiwai etos keadilan sosial? Kedua, apakah praktik pendidikan dalam kondisi konkretnya sekarang mampu menumbuhkan kesadaran kritis individu tentang penegakan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam masyarakat?

Terjadinya ketidakadilan sosial dalam praktik pendidikan, kata Dr. Agus, bersumber pada sikap negara yang emoh rakyat. Penyelenggara negara, yaitu pemerintah yang mengemban mandat "mengelola segala sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak" demi kebaikan bersama, cenderung mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar warga dan pembangunan pilar-pilar kepentingan umum penyangga interaksi antaranggota masyarakat sebagai bagian vital perwujudan cita-cita bonum coumune.

Akibatnya, dalam situasi negara emoh rakyat, sendi-sendi hubungan antarindividu dalam masyarakat menjadi goyah. Nilai-nilai keutamaan yang mendasari hubungan antarindividu terkikis oleh hasrat dasar manusia untuk sekedar bertahan hidup. Dengan kata lain, emoh rakyat sebagai gejala penyimpangan politik penyelenggaraan negara pada awalnya, membawa implikasi mendalam pada ranah kebudayaan masyarakat.

Pada bagian satu dari buku ini dibahas dengan panjang lebar tentang ambivalensi pendidikan pada konteks kolonial. Menurut Dr. Agus Suwignya, kekuasaan kolonial mendominasi pihak terjajah melalui sistem pendidikannya. Walaupun di sisi lain, pihak terjajah --yang menjadi melek politik antara lain berkat pendidikan kolonial-- menunjukkan perlawanan.

Dalam studi-studi yang berparadigma dominasi dan resistensi, kata Suwignya, sistem pendidikan kolonial ditampilkan sebagai bersifat dominatif dan mengemban misi reproduktif. Akibatnya, sistem pendidikan kolonial memicu timbulnya perlawanan dan pertentangan dari pihak yang dikuasai terhadap yang menguasai.

Menurut Harry J. Benda (1980: 58) pendidikan barat betapapun baik maksudnya telah bergabung untuk melepaskan angin topan reperkusi-reperkusi yang tidak terduga yang akan mengancam landasan utama masyarakat kolonial itu sendiri. Dengan kata lain, kata Benda, gelombang perubahan telah berjalan semakin cepat dari sebelumnya, tetapi semuanya melimpah keluar kerangka tujuan yang telah digariskan para penganjur politik etis.

Penentangan terhadap pemerintah kolonial tersebut dilakukan dengan menyatukan diri lewat berbagai organisasi sosial, agama, dan politik yang didirikannya. Hal tersebut dapat terjadi karena sistem pendidikan baru itu akan mempercepat tumbuhnya golongan intelegensia yang kemudian memegang peranan dalam fungsi-fungsi baru yang diciptakan oleh perkembangan proses birokrasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Mereka memegang peranan dalam berbagai lapangan pekerjaan seperti guru, pegawai administrasi, hakim, pengacara, dan lain-lain.

Menurut Suwignyo, penguasa kolonial mencegah sekolah Barat dari fungsinya sebagai perantara budaya, yang menjembatani keterhubungan antara "pihak penjajah" dan "pihak terjajah". Dengan kata lain, sekolah mendesakkan cara berpikir "pihak penjajah" tentang bagaimana "pihak terjajah" seharusnya memahami budaya mereka sendiri. Hal ini menimbulkan dua akibat.

Pertama, ketika pola asimilasi atau akomodasi merupakan cirinya, persekolahan kolonial menciptakan apa yang disebut oleh Robert van Niel sebagai suatu lapis baru elite fungsional pribumi. Kedua, persekolahan kolonial atau keberadaan persekolahan kolonial menstimulasi reaksi dari pihak "yang dijajah" melawan kekuasaan "pihak yang menjajah" yang sebagian besar berbentuk perlawanan politik.

***

Salah satu kerisauan saya terhadap dunia pendidikan saat ini adalah semakin tidak terbendungnya sekolah-sekolah yang berbasis komunitas, baik yang berbasis keagamaan maupun organisasi. Kemunculan sekolah-sekolah semacam ini akarnya sudah dapat ditemui sejak zaman kolonial. Pendirian sekolah Muhammadiyah misalnya, sudah dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan setahun sebelum Muhammadiyah sendiri berdiri atau pada 1911.

Pada zaman kolonial, selain masalah stratifikasi penduduk serta pemisahan hukumnya, passenstelsel, dan wijkenstelsel, eksklusivitas tersebut juga disebabkan oleh didirikannya sekolah-sekolah khusus dengan berdasarkan ras dan etnis. Sebelum Perang Dunia II telah ada HIS (Hollandsch-Inlandsche School), HCS (Hollandsch-Chineese School), dan ELS (Eropesche-Lagere School). HIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi golongan pribumi, HCS untuk anak-anak Tionghoa, dan ELS adalah sekolah untuk anak-anak Belanda, anak-anak golongan atas pribumi dan Timur Asing. Di ELS anak-anak golongan elite dari berbagai penduduk dapat bertemu satu dengan yang lain, tetapi kontak mereka hanya terbatas di sekolah.

Bagi para praktisi, pemerhati, maupun mereka yang hendak menekuni dunia pendidikan, buku ini memiliki posisi yang penting dan strategis. Betapa tidak, seluruh persoalan pendidikan, yang dimulai dari akar historis, tantangan masa kini pendidikan, pendidikan komunitas (Muhammadiyah, Taman Siswa, dan pendidikan Katolik), persoalan kurikulum, persoalan guru, hingga ujian nasional dibahas dengan gamblang.

Sebagai sejarawan yang menekuni kajian pendidikan, Dr. Agus Suwignyo memaparkan dengan sangat baik berbagai persoalan pendidikan di Tanah Air. Dia tidak hanya memaparkan berbagai persoalan, tetapi juga menawarkan solusi. Oleh karena itu, buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi sejarawan, sosiolog, pengambil kebijakan (pemerintah) tentang pendidikan, maupun praktisi. Dengan membaca dan memahami isi buku ini, semoga pendidikan kita tidak hanya ribut dengan masalah zonasi, tetapi jauh lebih mencerahkan.

Sarkawi B. Husain Departemen Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga

(mmu/mmu)

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4660114/pendidikan-yang-mencerahkan?_ga=2.66091437.2014650232.1569818404-233749864.1568101830

Share:

Recent Posts