Pendidikan yang Mencerahkan

Pendidikan yang Mencerahkan




Judul Buku: Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme; Penulis: Agus Suwignyo; Penerbit: Selarung; Tebal: 400 hlm; Tahun Terbit: 2019

Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata ~ Sindhunata (2000)

Saat ini, gonjang-ganjing tentang sekolah berbasis zonasi mulai mereda seiring dengan mulai aktifnya anak didik kita menerima pelajaran di berbagai tingkat pendidikan. Oleh karena itu, ada baiknya "masa tenang" ini digunakan untuk merenung tentang berbagai hal berkaitan dengan dunia pendidikan kita.

Hampir dua puluh tahun yang lalu, dalam Majalah Basis Sindhunata memberi catatan pembuka tentang dunia pendidikan kita, seperti yang dinyatakan dalam kutipan pembuka tulisan ini. Dalam beberapa hal, pernyataan Sindhunata adalah hal yang tak terbantahkan. Air mata mengalir karena tidak mampu membayar uang sekolah dan berbagai tetek bengeknya. Air mata juga mengucur karena tertimpa reruntuhan gedung yang lapuk dan kualitas bangunan yang sangat rendah.

***

Persoalan ke(tidak)adilan sosial dalam praktik pendidikan ini menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam buku ini. Menurut Dr. Agus Suwignyo, refleksi tentang keadilan sosial dalam praktik pendidikan di Indonesia dewasa ini memunculkan setidaknya dua pertanyaan. Pertama, apakah praktik pendidikan telah dijiwai etos keadilan sosial? Kedua, apakah praktik pendidikan dalam kondisi konkretnya sekarang mampu menumbuhkan kesadaran kritis individu tentang penegakan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam masyarakat?

Terjadinya ketidakadilan sosial dalam praktik pendidikan, kata Dr. Agus, bersumber pada sikap negara yang emoh rakyat. Penyelenggara negara, yaitu pemerintah yang mengemban mandat "mengelola segala sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak" demi kebaikan bersama, cenderung mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar warga dan pembangunan pilar-pilar kepentingan umum penyangga interaksi antaranggota masyarakat sebagai bagian vital perwujudan cita-cita bonum coumune.

Akibatnya, dalam situasi negara emoh rakyat, sendi-sendi hubungan antarindividu dalam masyarakat menjadi goyah. Nilai-nilai keutamaan yang mendasari hubungan antarindividu terkikis oleh hasrat dasar manusia untuk sekedar bertahan hidup. Dengan kata lain, emoh rakyat sebagai gejala penyimpangan politik penyelenggaraan negara pada awalnya, membawa implikasi mendalam pada ranah kebudayaan masyarakat.

Pada bagian satu dari buku ini dibahas dengan panjang lebar tentang ambivalensi pendidikan pada konteks kolonial. Menurut Dr. Agus Suwignya, kekuasaan kolonial mendominasi pihak terjajah melalui sistem pendidikannya. Walaupun di sisi lain, pihak terjajah --yang menjadi melek politik antara lain berkat pendidikan kolonial-- menunjukkan perlawanan.

Dalam studi-studi yang berparadigma dominasi dan resistensi, kata Suwignya, sistem pendidikan kolonial ditampilkan sebagai bersifat dominatif dan mengemban misi reproduktif. Akibatnya, sistem pendidikan kolonial memicu timbulnya perlawanan dan pertentangan dari pihak yang dikuasai terhadap yang menguasai.

Menurut Harry J. Benda (1980: 58) pendidikan barat betapapun baik maksudnya telah bergabung untuk melepaskan angin topan reperkusi-reperkusi yang tidak terduga yang akan mengancam landasan utama masyarakat kolonial itu sendiri. Dengan kata lain, kata Benda, gelombang perubahan telah berjalan semakin cepat dari sebelumnya, tetapi semuanya melimpah keluar kerangka tujuan yang telah digariskan para penganjur politik etis.

Penentangan terhadap pemerintah kolonial tersebut dilakukan dengan menyatukan diri lewat berbagai organisasi sosial, agama, dan politik yang didirikannya. Hal tersebut dapat terjadi karena sistem pendidikan baru itu akan mempercepat tumbuhnya golongan intelegensia yang kemudian memegang peranan dalam fungsi-fungsi baru yang diciptakan oleh perkembangan proses birokrasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Mereka memegang peranan dalam berbagai lapangan pekerjaan seperti guru, pegawai administrasi, hakim, pengacara, dan lain-lain.

Menurut Suwignyo, penguasa kolonial mencegah sekolah Barat dari fungsinya sebagai perantara budaya, yang menjembatani keterhubungan antara "pihak penjajah" dan "pihak terjajah". Dengan kata lain, sekolah mendesakkan cara berpikir "pihak penjajah" tentang bagaimana "pihak terjajah" seharusnya memahami budaya mereka sendiri. Hal ini menimbulkan dua akibat.

Pertama, ketika pola asimilasi atau akomodasi merupakan cirinya, persekolahan kolonial menciptakan apa yang disebut oleh Robert van Niel sebagai suatu lapis baru elite fungsional pribumi. Kedua, persekolahan kolonial atau keberadaan persekolahan kolonial menstimulasi reaksi dari pihak "yang dijajah" melawan kekuasaan "pihak yang menjajah" yang sebagian besar berbentuk perlawanan politik.

***

Salah satu kerisauan saya terhadap dunia pendidikan saat ini adalah semakin tidak terbendungnya sekolah-sekolah yang berbasis komunitas, baik yang berbasis keagamaan maupun organisasi. Kemunculan sekolah-sekolah semacam ini akarnya sudah dapat ditemui sejak zaman kolonial. Pendirian sekolah Muhammadiyah misalnya, sudah dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan setahun sebelum Muhammadiyah sendiri berdiri atau pada 1911.

Pada zaman kolonial, selain masalah stratifikasi penduduk serta pemisahan hukumnya, passenstelsel, dan wijkenstelsel, eksklusivitas tersebut juga disebabkan oleh didirikannya sekolah-sekolah khusus dengan berdasarkan ras dan etnis. Sebelum Perang Dunia II telah ada HIS (Hollandsch-Inlandsche School), HCS (Hollandsch-Chineese School), dan ELS (Eropesche-Lagere School). HIS adalah sekolah yang diperuntukkan bagi golongan pribumi, HCS untuk anak-anak Tionghoa, dan ELS adalah sekolah untuk anak-anak Belanda, anak-anak golongan atas pribumi dan Timur Asing. Di ELS anak-anak golongan elite dari berbagai penduduk dapat bertemu satu dengan yang lain, tetapi kontak mereka hanya terbatas di sekolah.

Bagi para praktisi, pemerhati, maupun mereka yang hendak menekuni dunia pendidikan, buku ini memiliki posisi yang penting dan strategis. Betapa tidak, seluruh persoalan pendidikan, yang dimulai dari akar historis, tantangan masa kini pendidikan, pendidikan komunitas (Muhammadiyah, Taman Siswa, dan pendidikan Katolik), persoalan kurikulum, persoalan guru, hingga ujian nasional dibahas dengan gamblang.

Sebagai sejarawan yang menekuni kajian pendidikan, Dr. Agus Suwignyo memaparkan dengan sangat baik berbagai persoalan pendidikan di Tanah Air. Dia tidak hanya memaparkan berbagai persoalan, tetapi juga menawarkan solusi. Oleh karena itu, buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi sejarawan, sosiolog, pengambil kebijakan (pemerintah) tentang pendidikan, maupun praktisi. Dengan membaca dan memahami isi buku ini, semoga pendidikan kita tidak hanya ribut dengan masalah zonasi, tetapi jauh lebih mencerahkan.

Sarkawi B. Husain Departemen Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga

(mmu/mmu)

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4660114/pendidikan-yang-mencerahkan?_ga=2.66091437.2014650232.1569818404-233749864.1568101830

Share:

Recent Posts