Ma'ruf Amin: Reformasi Pendidikan Nasional demi Tingkatkan SDM Kompetitif

Maruf Amin: Reformasi Pendidikan Nasional demi Tingkatkan SDM KompetitifFoto: Istimewa
Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin menilai pentingnya pendidikan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul sesuai visi-misi Indonesia Maju. Menurutnya, melalui reformasi pendidikan nasional akan menghasilkan perubahan fundamental melahirkan SDM Indonesia yang cerdas.

"Kuncinya adalah pendidikan formal maupun pendidikan vokasi, karena itu maka pemerintah akan melakukan reformasi pendidikan nasional kita supaya output-nya, tamatannya dapat memenuhi sesuai dengan tuntutan kerja di industri di lapangan," ujar Ma'ruf di The Opus Grand Ballroom The Tribrata Darmawangsa Jakarta, Jl Darmawangsa III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).

Ma'ruf mengatakan tak hanya pendidikan formal yang akan direformasi pemerintah. Pendidikan vokasi juga akan direformasi total untuk melahirkan SDM yang tak hanya cerdas tapi produktif.

"Bangsa Indonesia yang produktif yaitu Indonesia yang dapat menghasilkan suatu yang besar. Upaya-upaya yang dilakukannya harus menghasilkan dampak yang besar lahirkan high impact, tidak low impact, bahkan tidak non-impact," katanya.

Menurutnya, produktivitas menjadi penting karena penilaian keberhasilan itu dilihat dari seberapa manfaat yang dihasilkan. Manusia produktif, kata dia, menjadi bagian penting daripada SDM yang kompetitif yang memiliki daya saing.

"Demikian juga SDM yang harus kita bangun adalah SDM yang berakhlak mulia, atau ber-akhlakulkarimah sehingga SDM kita, SDM yang memiliki sikap-sikap yang terpuji yang menjadi harapan seluruh bangsa Indonesia," katanya.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4776767/maruf-amin-reformasi-pendidikan-nasional-demi-tingkatkan-sdm-kompetitif

(fas/aan)
Share:

Pendidikan 4.0 atau 2.0?

Pendidikan 4.0 atau 2.0?Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Publik menanggapi terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan secara berbeda-beda. Ada yang bersemangat, berharap Nadiem membawa perubahan segar dalam pendidikan Indonesia. Tapi ada juga yang skeptis, menganggap Nadiem tak tepat berada di posisi itu, karena ia masih terlalu muda dan belum pernah berkecimpung di dunia pendidikan.

Apa konsep pendidikan yang akan dijadikan sebagai fondasi kebijakan-kebijakan pendidikan oleh Nadiem? Bagi saya pertanyaan itu salah kaprah kalau ditujukan ke sosok Nadiem. Nadiem hanyalah seorang menteri, pembantu presiden. Konsep yang paling dasar soal kebijakan seharusnya ada pada presiden. Nah, apa konsep pendidikan Presiden Joko Widodo?

Jujur saja, saya tidak melihat ada kata kunci besar soal pendidikan dalam berbagai pernyataan Presiden Jokowi soal pendidikan. Itu pula yang tercermin dalam kinerja Menteri Pendidikan selama 5 tahun terakhir. Yang sempat bikin heboh adalah rencana untuk menjalankan full day school yang ditentang banyak orang. Tak jelas pula konsep apa yang menjadi dasar keinginan itu. Kemudian yang tahun lalu membuat heboh adalah sistem zonasi dalam penerimaan siswa di sekolah negeri.                       
Sebenarnya apa yang diinginkan Jokowi terhadap pendidikan di Indonesia? Saya cari berita-berita soal itu, dan saya temukan beberapa artikel di media online. Salah satu artikel merangkum 6 program atau janji Jokowi. Lima di antaranya soal yang sangat teknis, yaitu total anggaran, alokasi dana BOS, kartu pra-kerja, dan dua tentang beasiswa. Hanya satu yang sifatnya agak konseptual, yaitu soal pendidikan yang selaras dengan industri.

Bagaimana penjabaran konsep pendidikan yang selaras dengan industri itu? Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan merancang pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini dinilai penting mencetak calon-calon pemikir, penemu, dan entrepreneur hebat di masa depan. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia juga akan ditekankan pada perbaikan kualitas guru, mulai dari proses penyaringan, pendidikan keguruan, pengembangan pembelajaran, dan metode pengajaran yang tepat dengan memanfaatkan teknologi.

Kata kunci pada program itu ada tiga, yaitu "sesuai kebutuhan industri", "meningkatkan kualitas guru", dan "memanfaatkan teknologi". Kalau dirangkai, pemerintah akan meningkatkan kualitas guru, melatih mereka mengembangkan berbagai metode pengajaran dengan menggunakan teknologi untuk mendidik anak-anak muda agar siap bekerja sesuai kebutuhan industri.

Pertanyaan berikutnya, industri macam apa? Ketika bicara soal industri, orang sering langsung bicara soal Industri 4.0. Nadiem dianggap sebagai tokoh yang sukses dengan bisnis jenis 4.0 ini. Maka, mungkin cocoklah kalau dia yang jadi menteri.

Industri apa yang dimiliki Indonesia? Kita harus dengan jujur mengakui bahwa industri kita sebenarnya masih belum jauh beranjak dari industri "pertukangan". Datangilah berbagai kawasan industri, maka yang akan kita temukan adalah perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan pabrik di sini. Ada yang membangun pabrik di sini karena produk yang mereka hasilkan akan dijual di sini. Sebagian yang lain hanya meminjam tempat, menikmati lahan dan tenaga kerja murah, untuk memproduksi barang yang akan dijual ke berbagai negara lain.

Kita nyaris tidak memiliki industri yang secara mandiri mengembangkan produk. Kita tidak punya teknologi untuk melakukan itu. Kita tidak punya SDM yang memadai untuk membangun teknologi itu. Kalau konteksnya industri Indonesia yang mandiri, Industri 4.0 itu adalah mimpi yang masih jauh tinggi di awang-awang.

Cina adalah negara raksasa dengan industri raksasa pula. Tapi ingat, industri Cina tidak melulu berupa industri raksasa. Ada begitu banyak industri kecil menengah di Cina, dan sebagian besar beroperasi dengan cara Industri 2.0. Barang-barang Cina yang membanjiri pasar kita saat ini sebagiannya adalah produk industri kecil dan menengah Cina.

Artinya, kita sebenarnya punya PR besar untuk membangun industri kecil menengah, guna memproduksi barang-barang kebutuhan kita sendiri, yang saat ini sebagian besar masih diimpor dari Cina. Apa yang dibutuhkan untuk membangun industri itu? Manusia. Manusia adalah sentral pada industri kecil menengah.

Di Jepang dikenal sosok shokunin, pengrajin yang tekun, yang mengembangkan produk, memproduksinya dalam skala kecil menengah, dengan tenaga manusia sebagai pusat kekuatannya. Hidup matinya industri ini ditentukan oleh kemahiran dan etos kerja para pekerjanya. Tidak cuma Jepang yang begitu, Cina pun demikian.

Kalau kita sekali lagi berkunjung ke kawasan industri, kita akan bertemu dengan para pekerja. Apa keluhan investor soal pekerja kita? Umumnya mereka mengeluh soal disiplin, etos kerja, dan integritas. Itu semua tentu saja berujung pada produktivitas. Boro-boro berkreasi membangun industri sendiri, bekerja pada orang lain saja pun kita tak becus.

Nah, bagaimana pendidikan menyelesaikan masalah ini? Lihatlah sekolah-sekolah kita. Apa yang terjadi di sana? Murid-murid dijejali dengan berbagai pelajaran, tapi minim pendidikan karakter. Guru-guru juga masih banyak yang bermasalah dalam hal karakter, disiplin, dan integritas.

Bagi saya ini masalah fundamental dalam pendidikan kita. Sekolah harus bisa mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang disiplin, punya rasa tanggung jawab, etos kerja, dan kreativitas. Untuk mencapai itu tidak perlu mengubah kurikulum. Jangan sampai ganti menteri ganti kurikulum lagi. Cukup ubah pola pikir para guru, ubah pendekatan pendidikan. Peningkatan kualitas guru seperti yang diprogramkan tadi fokuskan untuk mengubah pola pikir, disiplin, etos kerja, dan integritas para guru.

Saya membayangkan sebuah sekolah yang dengan penuh kasih mengajari anak-anak untuk tertib antre, rajin menjaga kebersihan, disiplin soal waktu, hormat pada guru. Semua itu ditegakkan dengan kasih, bukan ancaman sanksi. Anak-anak diajak untuk eksplorasi dan berpikir, bukan jadi pendengar setia ocehan guru-guru, atau lebih buruk lagi, jadi penghafal. Bisakah Nadiem mengubah sekolah yang ada sekarang menjadi sekolah yang demikian? Semoga.

https://news.detik.com/kolom/d-4779703/pendidikan-40-atau-20
(mmu/mmu) 
Share:

Pendidikan, Kepatuhan, dan Jiwa-Jiwa Merdeka

Pendidikan, Kepatuhan, dan Jiwa-Jiwa MerdekaFoto: Grandyos Zafna

Betapa berbahayanya kepatuhan. Berbahaya ketika individu tidak pernah tahu dan tidak mempunyai alasan pasti kenapa ia mesti patuh pada aturan bersama. Yang si patuh mengerti adalah ia menaati aturan karena otoritas memintanya begitu dan mempertanyakannya selalu dianggap tabu, atau bahkan dosa.
Sayangnya, jenis kepatuhan ini diinternalisasi di lingkungan masyarakat yang mengharuskan keharmonisan komunal dijaga baik dengan segala cara. Termasuk melalui represi sejak dari ruang publik paling personal, yakni keluarga. Kita terbiasa mendengar orangtua tidak membolehkan anaknya melakukan sesuatu yang dianggap buruk tanpa penjelasan logis yang memadai. Jika si anak bertanya lebih jauh, seringkali ia dicap nakal.
Sistem pendidikan formal kita pun setali tiga uang dengan itu. Sekolah mengamini dan mendukung nilai-nilai yang diinternalisasikan secara paksa. Alih-alih mengajari murid untuk menjadi kritis dan melatih diri mereka untuk selalu bersikap skeptis, sistem pembelajaran kita menuntut si anak untuk tunduk. Para murid tidak diberikan bekal cukup untuk membangun kesadarannya sendiri. Pendidikan kita belum memerdekakan individu.

Tyler dalam Why People Obey the Law (1990) mengategorikan kepatuhan ke dalam dua jenis, instrumental dan normatif. Yang pertama, kepatuhan yang terbentuk sebagai respons terhadap hukuman dan penghargaan. Yang kedua, kepatuhan berasal dari pandangan individu yang melihat aturan sebagai hal yang adil dan mengikutinya merupakan sikap yang pantas untuk dilakukan.
Komitmen dalam kepatuhan normatif sendiri melibatkan moralitas dan legitimasi personal. Moralitas personal berarti menuruti aturan karena individu tersebut tahu bahwa aturan itu adil dan layak diikuti. Legitimasi personal dapat dilihat sebagai sikap taat aturan yang bersumber dari pandangan bahwa otoritas yang menegakkan aturan memiliki hak untuk membentuk perilaku publik. Keduanya dicapai setelah melalui proses berpikir, menelaah informasi yang diterima terkait aturan-aturan, dan kemudian memutuskan mematuhi seperangkat aturan tadi karena pertimbangan logis dan kesadaran yang muncul dari dalam.
Perspektif normatif fokus pada norma-norma keadilan dan kewajiban yang diinternalisasi. Sebaliknya, perspektif instrumental menganggap kepatuhan sebagai bentuk perilaku yang terjadi sebagai respons terhadap faktor-faktor eksternal, yang seringkali dilakukan tanpa serangkaian proses berpikir.
Dengan kata lain, ada dua hal paradoks yang membentuk hasil akhir yang sama. Kepatuhan yang hadir karena paksaan atau yang terbentuk karena kesadaran. Pendidikan, idealnya, perlu melahirkan individu bebas yang memilih patuh secara sukarela. Kesukarelaan itu muncul dari kebebasan berpikir kritis. Salah satu tugas besar pendidikan, menurut Giroux, adalah membangun, bukan membentuk secara paksa, kesadaran individu untuk menghormati kehidupan dan kepentingan bersama.
Sayangnya, pendidikan kita justru menegasikan keduanya. Oleh pendidikan, kesadaran individu dipinggirkan, atau mungkin dilenyapkan, demi kepentingan bersama. Anak-anak kita ajari untuk menuruti segala hal yang dianggap normal di masyarakat, meski sebenarnya sebagian dari mereka tahu jika itu salah. Pendidikan masih bertumpu pada menciptakan individu yang seragam, yang fitted-in di dalam masyarakat dengan cara mengabaikan keunikannya masing-masing. Akhirnya, individu menjadi pribadi yang bukan dirinya. Mereka menjadi hipokrit.
Menggugat Pendidikan

Kita perlu belajar dari Dead Poets Society. Film berlatar waktu 1950-an dan diputar pertama kali pada 1989 ini menggugat pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang terpaksa patuh. Di film itu, John Keating, seorang guru bahasa Inggris yang progresif, mengajak murid-murid di sebuah sekolah elit khusus laki-laki untuk tidak hanya sekadar patuh. Melalui metode pengajaran yang tidak lazim, Keating meminta para muridnya untuk merayakan hidup. Keating kerap mengulang frasa Latin, "Carpe diem!" (Rebutlah hari ini!). Baginya, hidup menjadi sia-sia bila diisi kepatuhan yang terpaksa. Tidak paham esensi dan membebek tanpa tahu arah.
Hal pertama yang ditanamkan Keating kepada murid-muridnya adalah eksplorasi personal. Melalui puisi, para murid didorong untuk mengenal dirinya sendiri. "Kalian harus berusaha menemukan suaramu sendiri," ujarnya suatu kali, "Jika kalian menundanya, maka suara itu tidak pernah ditemukan." Salah satu usaha untuk menemukannya adalah dengan memprovokasi para murid untuk tidak terpaku pada definisi reduktif puisi yang dibuat akademisi.
Puisi adalah soal rasa, tidak dapat dibatasi oleh definisi yang dibakukan secara otoritatif. Keating meminta murid-muridnya untuk merobek bagian pengantar buku teks puisi yang ditulis oleh akademisi terpandang. Mereka diajak menikmati puisi karena keindahannya yang dirasakan secara personal, bukan diminta untuk menikmatinya dengan cara tertentu. Ini merupakan simbolisasi perlawanan terhadap otoritas yang menentukan nilai dan laku yang didiktekan tanpa perlu dikritisi.
Keating juga melakukan aksi simbolik lainnya. Di dalam kelas, ia berdiri di atas meja belajar. Dengan begitu, Keating mendapatkan titik pandang yang berbeda untuk objek yang sama. Ia berharap murid-muridnya selalu berupaya melihat perspektif yang baru dalam hidup. Individu yang kritis sudah seharusnya dapat melihat dengan cara pandang yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Secara implisit, meski sepanjang film pesan ini jelas tergambar, Keating melakukan protes keras terhadap sistem pendidikan yang hanya menghasilkan manusia satu dimensi yang kaku. Mereka hanya dididik untuk menjadi patuh atas tata nilai yang selama ini dianut masyarakat. Sistem pendidikan yang hanya membentuk siswa yang diinginkan oleh orangtua yang konvensional, bukan membantu siswa untuk mengenal diri dan potensi mereka.
Pandangan filosofis Keating tentang nilai kebebasan individu dan sifat non-kompromi itu meresap ke beberapa anak didiknya. Mereka tersihir oleh pesona tidak biasa Keating. Mereka kemudian menghidupkan kembali Dead Poet Society, komunitas dengan spirit kebebasan yang pernah diikuti Keating ketika ia bersekolah di tempat yang sama. Dan ini adalah simbolisasi hipokrisi yang nyata. Untuk menjadi diri mereka sendiri, para murid ini harus bersembunyi di dalam gua, mengadakan pertemuan rutin di sana, melakukan apapun yang dilarang sekolah, dan menjadi produktif dengan cara mereka sendiri.
Tujuh sahabat tadi menginterpretasi nilai-nilai anti kepatuhan dengan cara mereka sendiri. Carpe diem diterapkan dengan konsekuensi yang berbeda-beda. Hal yang menjadi catatan penting film ini adalah bagaimana Keating menasihati para anggota Dead Poet Society agar tak sekadar tidak-patuh dalam melawan sistem. Mereka tidak seharusnya mengincar kebebasan belaka, tapi mendapatkannya dengan cara dewasa. Risiko harus dikalkulasi secara cermat. Pilihan-pilihan bebas yang didapat harus pula dipertanggungjawabkan.

Sebuah Kesalahan
Pelajaran yang dapat diambil dari Dead Poet Society ini sederhana. Menundukkan jiwa-jiwa yang merdeka untuk patuh adalah sebuah kesalahan. Jiwa-jiwa itu akan membentuk kesadaran kolektif yang akan melawan nilai dominan masyarakat yang hipokrit.
Filosofi pendidikannya mesti berubah dari menciptakan manusia yang patuh menjadi menghasilkan individu merdeka yang harmonis dengan masyarakat. Pendidikan harus menempatkan perkembangan integral individu sebagai prioritas dan pemerdekaan individu semestinya menjadi inti praktik pendidikan sejati. Namun, visi pemerdekaan ini tidak boleh dikontraskan dengan kepentingan kolektif masyarakat dan kebaikan bersama.
Untuk mencapai tujuan itu, sekolah harus mengembangkan aspek non-diktatis individu, yakni mengajarkan cara memperoleh ilmu pengetahuan dan disposisi sikap atas kepemilikan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini diperlukan karena selama ini pendidikan kita lemah dalam pengembangan dasar-dasar intelektualitas selama pembelajaran.
Dengan begitu, pendidikan akan menghasilkan jiwa-jiwa merdeka yang bertanggung jawab dan membentuk individu dengan karakter keterdidikan. Tidak semua orang terdidik memiliki karakter ini. Karakter keterdidikan adalah sikap yang tidak berorientasi pada diri pribadi, tetapi pada bagaimana pilihan personalnya yang bebas mampu membawa manfaat dan menghadirkan keteraturan struktur sosial-politik dalam masyarakat. Sehingga pada akhirnya, masyarakat teratur, yang bukan diatur, hadir dari individu-individu terdidik yang memiliki pilihan bebas. Keduanya tidak saling meniadakan.

(mmu/mmu)

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4773991/pendidikan-kepatuhan-dan-jiwa-jiwa-merdeka
Share:

SDN di Denpasar Rawan Longsor karena di Ujung Tebing, Guru Waswas

SDN di Denpasar Rawan Longsor karena di Ujung Tebing, Guru Waswas

Kondisi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 6 Ubung di Denpasar, Bali, membutuhkan perhatian dari pihak terkait. Lokasi sekolah yang berada di tebing tepi sungai rawan longsor dan butuh perbaikan.

Pihak sekolah meminta perhatian pemerintah agar segera dilakukan perbaikan. Sebab, area toilet yang berada persis di pinggir tebing sudah hampir ambrol.

"Kami harap cepat disender. Supaya tidak dilalui anak-anak sekarang cuma dikasih bangku untuk pembatas. Harapannya pemerintah yang kompeten secepatnya menanggulangi biar kita aman," kata Kepala Sekolah SDN 6 Ubung Kaja Ni Luh Putu Sri Gunawati, Denpasar, Bali, Jumat (18/1/2019).


Warga sekolah sempat panik saat gempa 7 SR mengguncang Lombok yang getarannya dirasakan sampai di BaliWarga sekolah sempat panik saat gempa 7 SR mengguncang Lombok yang getarannya dirasakan sampai di Bali (Foto: Aditya Mardyastuti/detikcom)

Sri menerangkan dia sudah melaporkan kondisi sekolahnya ke dinas terkait. Dia berharap dinas segera melakukan perbaikan untuk mencegah terjadinya korban.

"Tiyang (saya, red) sudah lapor sesuai dengan jalur lewat dinas, PU sama aset Kota Denpasar. Katanya untuk anggaran ini dikasih 2019, tiyang kan menunggu dananya mungkin belum cair. Kalau belum lagi tiyang mengajukan usulan baru terus kejar biar secepatnya," terangnya.

Demi keselamatan anak-anak, areal toilet itu kini ditutup dengan bangku-bangku. Sri juga membatasi penggunaan tiga ruang kelas yang lokasinya berdekatan dengan toilet tersebut. Dia khawatir jika terjadi hujan lebat atau gempa toilet itu mendadak ambrol dan ruang kelas itu ikut tergerus.

"Asal gempa atau hujan deras ke sini orang tua murid ngecek anak-anaknya. Makanya tiga ruangan ini nggak dipakai takutnya kalau ketarik di situ itu. Kita sudah permaklumkan ke dinas, makanya pembelajaran dibagi pagi dan siang, biar tiyang pakai gedung ini aja," terang Sri sambil menunjuk gedung yang letaknya di sisi timur toilet.

Sri menuturkan ambrolnya toilet itu terjadi pada 2014 silam, namun tak juga ada perbaikan. Sementara, ketika gempa mengguncang Lombok pertengahan tahun lalu dia dan para guru serta orang tua makin waswas.

Areal sekolah yang rawan longsor ditutup dengan bangkuAreal sekolah yang rawan longsor ditutup dengan bangku (Foto: Aditya Mardyastuti/detikcom)

"Ambrol WC sejak 2014, gedung ini (baru dibangun) 2015. Dulu sempat mau dibangun di pinggir tebing karena sudah longsor makanya dibangun ke sini. Waktu gempa Lombok itu guncangan parah beberapa kali dan gede, sama kalau hujan deras selalu ada longsor dikit-dikit aja terus, kan khawatir," ucapnya.


Di lokasi yang sama, Kabid Pembinaan SD Disdikpora Kota Denpasar I Made Merta mengatakan pihaknya mendorong Dinas PU Provinsi Bali segera melakukan perbaikan. Sebab, pihaknya juga khawatir dengan keselamatan anak-anak.

"Gelisah juga karena sudah musim hujan. Kami dari Dinas Pendidikan mendorong di tingkat provinsi untuk bisa ditindaklanjuti, untuk menghindari terjadinya musibah atau terjadinya korban yang besar. Sekarang baru septic tank (yang ambrol), kalau tidak ditangani tiga kelas ini hancur. Kita mohon provinsi segera merealisasikan (renovasi) itu," harap Merta.
(ams/jbr)

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4390213/sdn-di-denpasar-rawan-longsor-karena-di-ujung-tebing-guru-waswas
Share:

Murid Dihukum Push Up karena Nunggak SPP, Ombudsman DKI: Ada Maladministrasi

Murid Dihukum Push Up karena Nunggak SPP, Ombudsman DKI: Ada Maladministrasi

Ombudsman perwakilan Jakarta Raya menyayangkan hukuman push up bagi murid yang menunggak bayar SPP. Menurut Ombudsman, hal itu menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tidak patuh terhadap hukum.

"Kekerasan yang terjadi di SDIT Bina Mutjama Bogor menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tidak patuh hukum. Alih-alih melindungi siswa yang masih di bawah umur, tenaga pengajar malah melakukan kekerasan yang menyebabkan GNS dihukum push up 100 kali karena belum membayar iuran sekolah," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho dalam keterangan tertulis, Selasa (29/1/2019).

Teguh mengatakan, selain tak patuh hukum, Yayasan Bina Mujtama dinilai mempraktikkan kekerasan. Dia pun menilai apa yang dilakukan pihak sekolah tidak dapat ditoleransi.

"Tindakan yang dilakukan oleh pengajar di SDIT dengan memaksa siswa melakukan push up masuk dalam praktik kekerasan dan tindakan tersebut tidak dapat ditolerir," katanya.

Menurut Teguh, kasus tersebut dapat berpotensi terjadinya maladministrasi. Mengingat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah diatur mengenai hak anak di lingkungan sekolah.

"Pasal 9 ayat 1a secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain," katanya.

"Kasus tersebut jelas terdapat aspek maladministrasi pelayanan publik dan aspek hukum pidananya, penyidik dapat langsung mengusut kasus ini tanpa adanya laporan dari korban," sambung Teguh.

Teguh mengungkapkan, pihaknya juga akan menelusuri apakah sekolah tersebut mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Sebab, jika pihak sekolah mendapatkan dana BOS, tidak sepatutnya menjadikan SPP sebagai pungutan wajib sebagiamana tegas diatur dalam Permendikbud 44/2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.

"Ini yang akan kita dalami, apakah sekolah tersebut mendapatkan dana BOS dari pemerintah? Jika iya, maka sangat fatal, terlebih tindakan sekolah yang memberikan hukuman kepada anak mengindikasikan pembebanan kewajiban biaya pendidikan kepada sang anak," kata Teguh.

"Pihak sekolah harus bertanggung jawab, Kepala Dinas Pendidikan juga harus ikut bertanggung jawab terkait dengan apa yang terjadi di SDIT Bina Mutjama Bogor, jangan ada lagi kekerasan dan tindak pelaku sesuai hukum," tutup Teguh.

Sebelumnya diberitakan, G mengaku mendapat hukuman dari pihak sekolah karena terlambat membayar SPP. Dia mengaku diberi hukuman 
push up oleh pihak sekolah. Hal ini kemudian membuat G trauma. Dia tidak mau kembali ke sekolah tersebut.

Pihak sekolah kemudian memberi penjelasan. Mereka menyatakan bahwa hukuman itu diberikan untuk menerapkan disiplin kepada murid-muridnya. Penghukuman itu juga merupakan bentuk peringatan kepada orang tua murid.

"Iya sebenarnya sih ingin menerapkan disiplin, dalam rangka memahami betul tanggung jawab sebagai orang tua, kita nggak mau sebenarnya libatkan anak," kata Kepala SDIT Bina Mujtama, Budi, kepada wartawan di kantornya, Bojonggede, Bogor, Selasa (29/1).
(mae/aik)

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4406288/murid-dihukum-push-up-karena-nunggak-spp-ombudsman-dki-ada-maladministrasi
Share:

Konten Atta Halilintar Dinilai Tak Layak Masuk Soal Ujian SD di Serang

Konten Atta Halilintar Dinilai Tak Layak Masuk Soal Ujian SD di Serang

Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Firman Hadiansyah, menilai konten soal ujian bahasa Indonesia tentang YouTuber Atta Halilintar belum pantas diakses siswa kelas V SD. Siswa sebaiknya diberi soal penguatan berupa pendidikan karakter.

"Dari sisi psikologi, konten Atta Halilintar tidak layak untuk diakses siswa SD. Sebaiknya diberi wacana pendidikan karakter," ujar Firman kepada detikcom di Serang, Banten, Selasa (28/5/2019).

Dari sisi konten, memang menurutnya itu tidak jadi masalah. Ini dinilai pertanyaan wacana untuk menguatkan pemahaman siswa. Tapi wacana tersebut juga belum layak diberikan untuk siswa SD.

Paling tidak, lanjutnya, untuk membuat kriteria bahan ajar harus memenuhi tiga unsur, yaitu psikologi siswa, bahasa, dan latar belakang budaya.

Konten Atta Halilintar Dinilai Tak Layak Masuk Soal Ujian SD di SerangSoal ujian anak SD tentang Atta Halilintar (Bahtiar/detikcom)

Dari sisi bahasa, soal yang diberikan juga ditemukan unsur bahasa asing yang masih belum dipahami siswa SD. Sebaiknya, pembuat soal memakai bahasa yang sederhana.


"Dari sisi latar belakang budaya, konten Atta Halilintar lepas dari budaya keseharian di Kota Serang," paparnya.

Menurutnya, pembuat soal bisa saja mengeksplorasi wacana yang lebih bersifat kebudayaan lokal. Apalagi Kota Serang dekat dengan wacana misalkan tentang Kesultanan Banten atau kehidupan dan budaya masyarakat Baduy.

(bri/jbr)


Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4569033/konten-atta-halilintar-dinilai-tak-layak-masuk-soal-ujian-sd-di-serang
Share:

Duh... Siswa SD di Bekasi Ini Belajar Secara Lesehan Sejak 2017

Duh... Siswa SD di Bekasi Ini Belajar Secara Lesehan Sejak 2017

Siswa SDN Pejayon 3 Kota Bekasi harus mengikuti kegiatan belajar mengajar secara lesehan. Pasalnya sekolah tersebut tidak punya bangku dan meja.

"Sejak 2017 akhir (tidak punya bangku dan meja)," ujar seorang guru SDN Pekayon Jaya 3 Kota Bekasi, Abdul Syukur, kepada detikcom, Jumat (13/9/2019).

Abdul bercerita gedung SDN Pekayon Jaya 3 dirubuhkan dan dibangun kembali tahun 2017. Semula hanya memiliki 3 ruang kelas, menjadi 11 kelas.

Sejak saat itu, 6 kelas tak memiliki bangku dan meja. Di antaranya yakni kelas 1b, kelas 2a, kelas 2b, kelas 5b, kelas 6a, kelas 6b.

"210 (siswa terdampak) ya," ujar Abdul.

Pihak sekolah mengimbau setiap murid untuk membawa meja menggambar masing-masing. Namun, sejumlah siswa diketahui tak memiliki meja gambar dan terpaksa menulis di lantai.

Dear Walkot Pepen, Siswa SD di Bekasi Ini Lesehan Belajar Sejak 2017Foto: Isal Mawardi/detikcom

"Ada yang punya, ada yang nggak, terkadang (meja gambar) ada yang patah, ada yang belinya lama gitu," ujar Abdul.

Abdul menjelaskan sejumlah siswa dan orang tua siswa mengaku keberatan jika proses belajar mengajar dilakukan secara lesehan. Pihak sekolah meminta pengertian dari pihak orang tua siswa.

Abdul menyebut kegiatan belajar lesehan ini tidak efektif dan bisa berdampak buruk pada kesehatan para siswa. "Kesehatan ya nggak boleh ya, dari pelajaran IPA kan kita belajar kan takutnya anak itu lari ke tulang, lordosis lah. Konsentrasinya juga agak berkurang karena belajarnya membungkuk, terus juga agak dingin, kan tanpa alas ya. Mereka kebingungan," ujar Abdul.

Pihak sekolah mengaku telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Bekasi agar Disdik memfasilitasi sekolah dengan perlengkapan meja dan bangku.

"Kebetulan memang kita sudah mengajukan bangku itu dari sejak itu, kemudian belum pernah direspons, sampai sekarang belum ada respons," ujar Abdul.

Dear Walkot Pepen, Siswa SD di Bekasi Ini Lesehan Belajar Sejak 2017Foto: Isal Mawardi/detikcom

Pantauan detikcom di SDN Pekayon Jaya 3, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jumat (13/9) pukul 13.00 WIB, tidak tampak kegiatan belajar mengajar. Sekolah tampak sepi.

Di dalam sejumlah kelas, tidak terdapat meja dan bangku belajar siswa. Terlihat tumpukan meja gambar di bagian belakang kelas. Terdapat tikar berukuran 3 x 2 di pojok kelas.
(mei/jbr)

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4705980/duh-siswa-sd-di-bekasi-ini-belajar-secara-lesehan-sejak-2017
Share:

Recent Posts