MOS dan Puskesmas Masuk Sekolah

MOS dan Puskesmas Masuk Sekolah

Bulan Agustus identik dengan masuknya peserta didik baru di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Momen penerimaan peserta didik baru (PPDB) ini memberikan kesibukan yang "menyenangkan" bagi petugas Puskesmas Situraja, Kabupaten Sumedang.

Melalui hasil wawancara yang kami lakukan dengan Kepala Puskesmas Situraja, akan ada banyak permintaan diadakannya pemeriksaan kesehatan untuk penemuan dini kasus penyakit, serta penyuluhan kesehatan sebagai salah satu agenda dalam kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS).

Menurut pengalaman Puskesmas Situraja, penemuan dini dilakukan di berbagai jenjang pendidikan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA terhadap siswa-siswi baru di sekolah tersebut. Di sisi lain, kegiatan penyuluhan kesehatan yang dilakukan meliputi kesehatan reproduksi, NAPZA, dan HIV/AIDS.

Menariknya, permintaan untuk melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan oleh beberapa sekolah di wilayah kerja Puskesmas Situraja tidak serta merta terjadi. Awalnya, puskesmaslah yang meminta waktu untuk melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah tersebut.

Menurut Kepala Puskesmas Situraja yang kami wawancarai, mungkin sekolah-sekolah tersebut telah melaksanakan manfaat dari penyuluhan kesehatan yang dilakukan sebelumnya, sehingga tahun ini pihak puskesmas tidak lagi menjadi pihak yang meminta, melainkan diminta untuk melakukan penyuluhan kesehatan.

Bercermin dari hal yang dialami Puskesmas Situraja tersebut, perkembangan upaya preventif dengan penemuan dini dan promotif berupa penyuluhan kesehatan tersebut patut diapresiasi. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum memiliki paradigma sehat dalam kehidupan sehari-hari. Belum mau tahu tentang hal-hal terkait kesehatan sebelum ia atau orang terdekatnya mengalami sakit.

Tentu saja pemerintah telah memiliki berbagai macam program ideal untuk meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat melalui GERMAS, CERDIK, dan sebagainya yang dikomunikasikan secara masal. Namun sepertinya upaya promotif ini masih belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Mungkin hanya kader kesehatan atau petugas puskesmas saja yang mengetahui adanya program tersebut.

Mengumpulkan masyarakat untuk menjadi peserta sosialisasi seringnya menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan. Biasanya petugas kesehatan akan masuk dalam perkumpulan ibu-ibu PKK, pengajian, atau posyandu bila ingin melakukan penyuluhan.

Preventif dan Promotif

Masuknya kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan di sekolah-sekolah menjadi hal yang sangat menarik untuk terus dilakukan di masa depan. Meskipun bisa jadi hanya tersendat pada pengetahuan, tidak sampai terwujudnya perilaku kesehatan, kegiatan penyuluhan di antara siswa baru merupakan momen yang menyenangkan dalam melakukan upaya promotif perilaku kesehatan. Tidak perlu susah mengumpulkan masyarakat, murid-murid baru akan dengan sangat patuh dan penuh perhatian mendengarkan penyuluhan yang akan disampaikan petugas kesehatan.

PPDB tidak hanya menjadi cerita dalam dunia pendidikan, tetapi juga bidang kesehatan. Tidak dapat dipungkiri, pendidikan dan kesehatan menjadi dua aspek penting yang berkaitan dengan kualitas pembangunan manusia. Perkawinan antara dua aspek ini dalam peristiwa yang dialami Puskesmas Situraja menjadi pembelajaran penting bahkan dapat diangkat menjadi salah satu program preventif dan promotif secara nasional.

Telah disadari sejak lama bahwa bidang kesehatan bukan kegiatan sektoral. Melainkan sangat membutuhkan kerja sama lintas sektoral yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Bukan untuk sang pemangku kebijakan saja, tetapi juga untuk masyarakat yang berhak untuk dipenuhi kebutuhannya akan pengetahuan kesehatan.

Marya Yenita Sitohang, SKM Research Assistant (Health Demography) pada Research Center for Population Indonesian Institute of Sciences

(mmu/mmu)

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4663849/mos-dan-puskesmas-masuk-sekolah?_ga=2.66091437.2014650232.1569818404-233749864.1568101830
Share:

Menanti "Ruang Guru" versi Pemerintah

Menanti Ruang Guru versi Pemerintah

Di sekolah kami, siswa dilarang membawa gawai ke sekolah. Ada dampak positifnya. Siswa paling tidak jadi fokus pada penjelasan gurunya. Namun, ada juga dampak negatifnya: siswa dijauhkan dari teknologi. Padahal, dengan gawai, siswa bisa mencari informasi alternatif selain dari guru. Sebab, bagaimana pun, informasi jauh lebih melimpah daripada apa yang ada di batang kepala guru. Alangkah membosankan dan kakunya jika ruang kelas dimonopoli oleh guru. Sudah bukan saatnya lagi sistem pendidikan dengan sistem ceramah.
Namun, menyerahkan ruang kelas ke siswa bukan perkara gampang. Siswa sering sangat gagap jika disuruh berdiskusi satu sama lain. "Kami semua tak tahu, apa yang akan kami diskusikan," kurang lebih begitu mereka membela diri. Mereka benar. Maka, maaf-maaf saja, saya sering kali menganggap sepele metode diskusi. Alih-alih efektif, sistem ini kadang malah membuat ruang kelas jadi heboh. Dampaknya buruk: ruang sebelah terganggu, fokus pun terganggu, target pembelajaran pun bisa melempem jauh.
Nah, semestinya, ketidaktahuan siswa ini bisa diatasi apabila mereka bisa mencari informasi dari gawai. Setidaknya, mereka punya bahan awal untuk didiskusikan. Maksud saya, membawa gawai ke sekolah bagi siswa tak seharusnya lagi dilarang. Yang perlu adalah kontrol penuh dari guru agar penggunaan gawai itu tepat guna pada waktu pembelajaran. Bagaimana pun, saat ini segalanya seperti sudah terkemas pada gawai. Mencari makan, tekan tombol gawai; mau berangkat kerja, pilih menu di gawai; kangen pada orang jauh, klik aplikasi di gawai; tersesat di tempat yang asing, bertanyalah pada gawai.
Belum Menyentuh
Gawai menjadi jawaban atas segala kegelisahan kita saat ini. Begitu pun dengan belajar, apa pun definisi belajar itu, gawai bisa jadi jawaban. Mencari informasi, tinggal bertanya pada Google. Atau, mau tahu trik-trik mendetail, tinggal berselancar di Youtube. Barangkali itu semua masih kurang interaktif. Namun, teknologi selalu berkembang pesat. Kini, sudah ada aplikasi terbaru yang membuat pembelajaran jauh lebih kolaboratif dan interaktif. Teman-teman guru yang mau ikut sertifikasi baru-baru ini sudah belajar dari jarak jauh.
Kelasnya dibuat dalam bentuk maya. Tetapi, kelas itu tak benar-benar maya. Mereka saling bertukar pikiran di ruang kelas itu. Kini, aplikasi belajar yang lebih canggih juga sudah muncul meski dalam bentuk bimbel: Ruang Guru. Masih ada beberapa aplikasi lain. Namun, Ruang Guru ini begitu menarik perhatian saya. Pasalnya, ia hadir di hadapan anak-anak kita melalui iklan dan talk show yang mewah di televisi-televisi nasional. Ruang Guru, tak pelak lagi, ibarat produk pada umumnya. Perayaan ulang tahunnya dibuat dengan menghadirkan banyak bintang tamu sekaligus promosi besar-besaran.
Konon, siswa Ruang Guru sudah hampir menyentuh angka puluhan juta siswa. Dan, yang lebih hebat lagi, Ruang Guru juga sudah berhasil melakukan kerja sama dengan 32 dari 34 pemerintah provinsi dan lebih dari 326 pemerintah kota. Maka, jika kini Ruang Guru sudah melatih dan merekrut lebih dari 200.000-an guru, itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Pertanyaannya, apakah ini akan membuat sistem pendidikan kita mengalami disrupsi? Pertanyaan ini sangat masuk akal. Banyak fakta sudah ditunjukkan kepada kita.
Media cetak, misalnya, mulai bertumbangan, transportasi manual sudah ditinggalkan, ritel sudah kesulitan, dan masih banyak lagi. Itu semua karena kini sudah terkemas di gawai. Sekali lagi, pertanyaannya: apakah hal serupa akan terjadi pada pendidikan kita? Kalau terjadi, saya harus mengatakan bahwa ini adalah berita kemunduran dari sistem pendidikan kita. Harus dicatat, saya tak sedang mengutuki kehadiran Ruang Guru. Saya tahu, niat Ruang Guru suci. Paling tidak, pada awal berdirinya, keadaan pendidikan kita begitu menggetirkan.
Peringkat kita di PISA sangat buruk. Dirinci lagi, pada bidang Matematika dan Sains, kita berada di nomor 65. Di ranah literasi, kita jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Lebih dari separuh responden kita mendapat skor di bawah level 1 (level paling bawah). Risau atas fakta ini, Belva Devara (alumnus dari dua perguruan tinggi terkemuka AS: Harfard University dan Stanford University) lantas mendirikan Ruang Guru. Motivasinya, Ruang Guru harus hadir mempercepat laju pendidikan. Sebab, konon, menurut survei, untuk bisa membuat siswa Jakarta (bukan Indonesia) agar sama dengan negara-negara Eropa, perlu waktu 128 tahun.
Sayangnya, niat Ruang Guru ini sama sekali belum menyentuh akar masalah pendidikan kita, apalagi membereskannya. Fakta saat ini ketimpangan pendidikan kita teramat tinggi, terutama dalam pembiayaan pendidikan meski pada saat yang sama, kucuran dana untuk pendidikan juga semakin tinggi. Periksalah hasil penelitian Badan Pusat Statistik di mana sebanyak 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses pendidikan. Ini menjadi ironi tersendiri. Betapa tidak, di saat anggaran pendidikan tinggi, di saat itu pula orang terpinggirkan semakin jauh terpinggirkan.
Ketimpangan Akses
Ini bukan main-main. Sekali lagi, periksalah data dari Unicef: hampir setengah dari anggaran pendidikan Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Bahkan, sekitar 20 persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20 persen siswa miskin. Sampai di titik ini saya pikir sudah jelas bahwa akar masalah pendidikan kita adalah ketimpangan akses pendidikan. Jadi, jika merunut pada data di atas, kehadiran Ruang Guru (karena bagaimanapun, Ruang Guru hanyalah bisnis yang kebetulan mengambil label pendidikan), tak akan banyak membantu ketimpangan ini.
Karena itu, selain bisnis, pemerintah kiranya perlu menghadirkan aplikasi serupa yang dikhususkan kehadirannya bagi orang-orang terpencil. Ide ini barangkali konyol. Tetapi, ide ini (meski tak sama persis) pernah diterapkan Prof. Sugata Mitra di New Delhi. Ia melubangi tembok kampusnya dan menanamkan layar monitor serta papan ketik pada tembok. Hasilnya? Ajaib! Meski daerah itu kumuh, namun anak di daerah kumuh itu dapat mengoperasikan komputer secara perlahan, bahkan tanpa pengajar. Artinya apa? Ternyata manusia, jika memiliki akses, akan mampu membelajarkan dirinya sendiri.
Arti yang lebih jauh, kekurangan guru bermutu tak serta-merta menghilangkan pembelajaran bermutu selama masih ada akses yang bermutu. Dan, jangan salah, penerapan Hole-in-the-wall itu konon sudah banyak diterapkan di India dan Afrika Selatan. Jadi, adalah tak mustahil jika pemerintah membuat "Ruang Guru" baru khusus untuk pengabdian dan edukasi, bukan bisnis. Bagaimanapun, karena kini teknologi semakin pesat, pemerintah perlu menghadirkan teknologi ke tengah-tengah masyarakat. Katakanlah ini semacam literasi digital bagi warga-warga terpinggirkan. Kapankah?
Share:

Dana Desa Bangun Asa Pendidikan di Pelosok Kalimantan Barat

Dana Desa Bangun Asa Pendidikan di Pelosok Kalimantan Barat
Program Dana Desa yang digagas Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (kemendes PDTT) untuk membangun dari pinggiran kini telah menuai manfaat. Tak terkecuali, Desa Benua Kencana, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Meski masih sulit akses transportasi dan menempuh perjalanan hingga 2 jam 30 menit menembus hutan. Desa Benua Kencana sangat fokus terhadap dunia pendidikan. Selain digunakan untuk infrastruktur, ekonomi dan kesehatan, dana desa pun tak luput dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di desa.

Menurut Kepala Desa Benua Kencana, Musmuliadi, di desa yang seluas 3.228,7 hektare ini, terdapat 2 SD, yakni SDN 26 Sungai Kura dan SDN 12 Ansok. Dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat pun digunakan untuk membantu mendukung Program Kinerja dan Akuntabilitas (Kiat) Guru di kedua SD tersebut.

Dengan program ini guru mendapatkan tunjangan atas kinerja mereka. Sehingga tak ada lagi guru mangkir yang biasa terjadi di pelosok daerah. Malahan, guru yang berkinerja baik maka akan semakin sejahtera.
"Ada anggaran untuk KIAT Guru, jadi program penilaian guru, kinerja guru, istilahnya jam kerja mereka ada tim pengawasan, jadi ada reward gitu buat guru yang kinerjanya bagus itu. Itu kita alokasikan sebesar Rp 21 juta untuk 2 SD di Desa Benua Kencana, yakni SDN 12 Ansok dan SDN 26 Sungai Kura," ujar Musmuliadi saat ditemui detikcom di kediamannya, Kamis (30/9/2019).
Yeni Oktavia salah seorang guru SDN 26 Sungai Kura pada awalnya cukup prihatin saat pertama kali datang mengajar ke Desa Benua Kencana. Sebagai guru pendatang dari Padang, wanita berhijab ini mengaku tak betah awalnya karena berada di tempat terpencil tanpa adanya sinyal untuk berkomunikasi.

"Pertama kami datang ke sini agak-agak sangat sedih sekali. Tapi karena tugas datang dari Pemerintah jadi di manapun kami ditetapkan, kami tetap siap sedia," ujarnya.
Oleh karena itu, program Kiat guru ini tentu sangat membantu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di desa tersebut. Para guru tak perlu memikirkan kesejahteraan lagi dan fokus mengajar para siswa menjadi sosok yang berguna di masa depan, walaupun berada di pedalaman dengan segala kekurangan.
"Meski begitu, di sini juga banyak yang berprestasi setelah sekolah di sini. Kan saya mengajar semua pelajaran di sini, ada juga anak-anak yang berprestasi, contohnya seperti sampai ke tingkat kabupaten itu mata pelajaran IPA, Juara III mata Pelajaran IPA se-Kabupaten Sintang kelas 5 waktu itu," ujarnya.
Fl Yan (78) salah seorang tokoh pendiri SDN Sungai Kura ini mengaku bangga kini SD yang dulunya hanya dua buah bangunan kosong, bisa melahirkan orang-orang berpendidikan. Bahkan, menurut mantan kepala sekolah SDN Sungai Kura selama 17 tahun ini, SD tersebut sudah melahirkan sosok pemimpin, yakni Bupati Melawi. Dengan begitu, ia berharap hal ini akan menjadi penyemangat anak-anak SD mengikuti jejak beliau.
Ia pun memiliki pantun yang terus akan diingat sepanjang hidupnya. "Rumah baru berdinding kulit. Itulah SD Sungai Kura. Kalau Anda belum tahu. Dari celah-celah dinding inilah keluar para sarjana.. Rumah baru berlantai bambu. Itulah ciri khas SDN Sungai Kura.. Kalau Anda belum tahu. Dari celah-celah dinding inilah muncul seorang bupati," ujarnya.
Dana Desa Dukung Guru Tingkatkan Pendidikan di Pelosok Kalimantan Foto: Akfa Nasrulhak
Fl Yan menceritakan, SDN 26 Sungai Kura asal mulanya adalah SD bantuan yang didirikan tahun 1957, kemudian di tahun 1980 berubah menjadi SD swasta Sungai Kura sampai tahun 2009 dan 2009 pun diubah lagi menjadi SD Negeri 26 karena kehendak pemerintah.
Di SDN 26 Sungai Kura ini terdapat pemondokan bagi siswa-siswa yang bertempat tinggal jauh dari SD tersebut. Jika tak ada pemondokan tersebut, para siswa harus menempuh jalanan terjal sekitar 3-4 jam berjalan kaki. Saat ini, pemondokan alias rumah singgah di dekat SDN 26 Sungai Kura berjumlah 18 rumah, dengan siswa 34 orang dari Desa Riam Batu. Dengan adanya rumah ini, mereka bisa bersekolah tanpa harus menempuh perjalanan jauh dan ekstrem dari rumah ke sekolah. Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT, klik di sini.
Share:

Hampir Seluas Jabar, Ini Tantangan Sintang Siapkan Generasi Emas

Hampir Seluas Jabar, Ini Tantangan Sintang Siapkan Generasi Emas

Akses pendidikan dasar di daerah pedalaman hingga saat ini masih menjadi tantangan yang belum terpecahkan. Pemerintah masih mencari formula untuk membuat pemerataan pendidikan bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil.

Tak terkecuali, Kabupaten Sintang yang memiliki luas wilayah ketiga terbesar di Provinsi Kalimantan Barat setelah Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Hampir menyamai luas Jawa Barat, luas wilayah Kabupaten Sintang yaitu 21.635 km dan terbagi ke dalam 14 Kecamatan dan 391 desa.

Menurut Bupati Sintang Jarot Winarno, yang paling sulit dalam pembangunan berkelanjutan adalah menyeimbangkan antara konservasi, dengan menjaga lingkungan hidup, dengan pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Hal itu karena dalam pembangunan suatu daerah, apalagi Kabupaten Sintang dengan kondisi banyaknya perbukitan dan hutan, perlu adanya perencanaan yang matang.


"Kita membangun ini bukan hanya untuk generasi sekarang saja, tapi juga yang akan datang. Dan paling penting, kita bangun, jadi yang kita usahakan ini tidak boleh mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka," ujar Jarot saat ditemui detikcom belum lama ini.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan ini, lanjut Jarot, Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dengan menyiapkan anak-anak di Kabupaten Sintang yang mampu melewati zaman sehingga sampai menuju generasi emas 2045, menjadi tantangannya.

"Kenapa, Sintang ini seluas Jawa Barat, kami ini punya 391 desa. Nah, bagaimana ide tentang open defecation free (bebas buang air sembarangan) itu sampai bisa di ujung-ujung kampung. Bagaimana ide tentang namanya program Kinerja dan Akuntabilitas (Kiat) Guru, kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui guru-guru di daerah-daerah yang sangat tertinggal itu bisa berjalan dengan baik. Itu problem buat kita," ujarnya.

Menurut Jarot, perlu adanya peranan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah desa, masyarakat desa dan dana desa untuk membangun dari pinggiran. Dan yang paling penting, penggunaan dana desa memang saat ini akan beralih dari pengembangan infrastruktur ke pemberdayaan masyarakat.

Ada titik-titik kritis yang terus diingatkan Jarot kepada para kepala desa, salah satunya di bidang kesehatan. Menurut Jarot, Sintang merupakan kabupaten prioritas penanggulangan stunting. Dengan memperbaiki sanitasi, seperti air bersih, buang air tidak sembarangan, dan penataan perumahan kumuhnya, maka akan mengurangi 42 persen angka stunting di Kabupaten Sintang.

"Bayangkan di desa yang jauh sekali, saya pernah mendeklarasikan open defecation free itu di desa yang jaraknya 296 km dari Sintang ini, lewat jalan darat, nyeberang sungai, disambung pake speed boat khusus. Mereka deklarasikan dan memang benar ada," ujarnya

"Demikian juga di bidang pendidikan, banyak sekali pemberdayaan masyarakat, dengan menggunakan dana desa, direncanakan oleh masyarakat desa, didampingi oleh pendamping desa, dan mereka bisa desain suatu kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dari anak-anak kita," tambahnya.

Menurut Jarot, pendidikan di Sintang masih menghadapi 2 kendala utama. Pertama akses, karena SD yang ada di desa, dan desa tersebut memiliki 2-4 dusun yang jarak antar desa dengan dusun tersebut sangat jauh. Bahkan bisa dilalui hingga berjam-jam, atau melewati sungai dan jalanan berlumpur.

"Nah, sehingga kontribusi dari dana desa dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi mereka sendiri itu sangat penting, salah satu contoh terbaik itu adalah yang di Desa Benua Kencana. Itu ada rumah singgah, rumah itu diperlukan untuk memotong akses tadi," ujarnya.

"Jadi problem di Sintang, dalam konteks Indeks Pembangunan Manusia itu umur harapan hidup sudah bagus, income per kapita juga sudah bagus, tapi rata-rata lama sekolah yang masih rendah. Sintang ini rata-ratanya baru 6,9 tahun," jelasnya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Sintang, Herkolanus Roni menambahkan, pihaknya berencana membuat program satu desa satu sarjana. Dibantu dengan sumber dana desa, kegiatan ini diharapkan bermanfaat untuk menciptakan SDM unggul di setiap desa.

"Tahun 2020 kita merencanakan sebuah program satu desa satu sarjana yang dibantu dengan peranan dana desa. Caranya adalah pemerintah desa menyeleksi anak-anak yang memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikan hingga sarjana yang dibiayai oleh dana desa. Setelah ia lulus sarjana, diharapkan ia kembali ke desa tersebut untuk membangun desanya," ujarnya

"Sehingga jika satu desa bisa melahirkan satu sarjana, ada 391 desa, berarti 4 tahun kemudian dengan dana desa, itu mampu melahirkan 391 sarjana. Kita optimis bahwa pemerintah desa akan menyambut baik program ini dalam upaya kita menciptakan Indonesia unggul," tambahnya.

Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT, klik di sini.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4700767/hampir-seluas-jabar-ini-tantangan-sintang-siapkan-generasi-emas?_ga=2.157120696.2014650232.1569818404-233749864.1568101830
Share:

Tolong! SMA N 3 Huruna di Nias Rusak Parah: Lantai Tanah Becek, Atap Jebol

Tolong! SMA N 3 Huruna di Nias Rusak Parah: Lantai Tanah Becek, Atap Jebol

Kondisi gedung SMA Negeri 3 Huruna di Nias memprihatinkan, jauh dari layak untuk digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar. Atapnya jebol dan lantainya becek jika hujan deras turun.

SMA Negeri 3 Huruna berlokasi di Desa Tundrumbaho, Kecamatan Huruna, Sumatera Utara. Foto dan video kondisi sekolah ini ditayangkan oleh Ketua Komite SMA Negeri 3 Huruna, Yurisman Laia dan viral di media sosial.

Kondisi Gedung darurat SMA Negeri 3 Huruna yang dulunya dibangun oleh masyarakat 4 tahun yang lalu dengan berlantai tanah dan beratap daun rumbia.

SMA N 3 Huruna yang berlokasi di Desa Tundrumbaho Kec. Huruna kab Nias selatan dengan akses tranportasi masih menggunakan jalan kaki sejauh 4 KM dari ujung aspal, kondisi gedungnya hari ini sudah tak layak pakai seperti pada foto dan video dibawah ini dimana jika hujan tergenang air dalam ruangan sehingga KBM sangat terganggu..

Semoga DINASPENDIDIKANPROVINSI SUMUT dapat melihatnya..

Demikianlah keterangan Yurisman Laia via akun Facebooknya pada 6 September. Unggahan itu sudah disukai sebanyak 272 akun, 43 akun memberi emoji sedih, 12 akun memberi emoji cinta, dan 4 akun memberi emoji terkejut.

Terlihat lantai sekolah ini berupa tanah becek. Atapnya adalah rumbia alias daun pohon palem, sebagian sudah diganti dengan atap seng. Dindingnya terbuat dari kayu.

Dalam foto dan video yang diunggah Yurisman, siswa duduk di atas kursi kayu di belakang meja-meja lapuk, di atas tanah yang becek. Tanah itu berwarna cokelat keabu-abuan dengan jejak-jejak sepatu.

Sekolah ini terdiri dari enam ruangan, tiga di antaranya adalah ruang kelas. Gedung sekolah ini dibangun pada empat tahun lalu oleh warga.

"Sekolah ini dibangun masyarakat secara gotong royong tahun 2015. Sejak saat itu, tidak ada lagi pembangunan dan bantuan dari pemerintah. Mungkin karena jaraknya jauh, jadi tidak dibangun," kata Yurisman saat dihubungi detikcom, Selasa (17/9/2019).

Nias memang pulau terpisah dari daratan Sumatera, merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Letak SMA N 3 Huruna dijelaskan Yurisman berada sekitar 4 km dari jalan aspal. Sekolah ini bisa diakses dengan sepeda motor dengan berkendara dari arah jalan aspal sekitar setengah jam saja.

"Di sini juga ada sekolah lain. Sekolah yang lain sudah berupa bangunan permanen semua, yakni SMA N 1 Huruna dan SMA N 2 Huruna. Jarak dari SMA N 3 Huruna sekitar 7 km," kata Yurisman.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4709787/tolong-sma-n-3-huruna-di-nias-rusak-parah-lantai-tanah-becek-atap-jebol?_ga=2.166621373.2014650232.1569818404-233749864.1568101830
Share:

Tak Punya Gedung, Siswa SMP di Bogor 8 Tahun Telantar

SMP Terbuka 1 Cijeruk

Meski sudah delapan tahun berdiri, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka 1 Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat masih belum memiliki gedung.

Sejak awal berdiri tahun 2011, kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa sekolah tersebut berpindah-pindah menumpang di sekolah lain. Dan kini puluhan siswa terpaksa belajar di halaman rumah setelah diusir pemilik madrasah.

Cucu Sumiati bersama almarhum suaminya, Gunawan mendirikan sekolah gratis pada tahun 2011 di tempat tinggalnya Jalan Sukabakti, Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Didirikannya sekolah SMP yang menginduk ke SMP Negeri 1 Cijerukt itu, kata Cucu, lantaran warga Desa Palasari mayoritas kurang mampu untuk menyekolah anaknya ke jenjang SMP.

Tidak hanya itu, murid-murid SD yang telah tamat enggan melanjutkan pendidikannya, lantaran jarak dari desa ke SMP terdekat tergolong jauh atau sekira 10 kilometer.

"Waktu itu kami melihat di desa kami banyak murid SD putus sekolah. Makanya saya bersama suami berinisiatif untuk mendirikan sekolah SMP,'' kata Cucu, Kamis (29/8/2019).

Dalam menjalankan KBM, sejak berdiri acap kali berpindah-pindah tempat mulai menumpang di SDN Langensari Cijeruk sampai menyewa gedung madrasah. Kini KBM dilakukan di belakang dan samping halaman rumahnya karena diusir lantaran adanya perebutan tanah wakaf.

"Ada konflik antara keluarga yang memberikan tanah wakaf, jadi sekolah pindah lagi dan siswa belajar di halaman depan dan belakang rumah," tuturnya.

Selain belajar beratapkan awan, sekolah ini juga minim fasilitas. Yang ada di halaman rumah hanya tersedia kursi lipat dan papan tulis. Beberapa diantaranya duduk mengampar di bale halaman belakang.

"Dulu buku dapat bantuan dari donatur. Dari sekolah induk pernah ngasih tapi kurikulum KTPS, sementara sekarang kurtilas. Klo ATK kita beli sendiri," terangnya.
Setiap menerima pelajaran, seluruh siswa kelas 7, 8, dan 9 menyiapkan sendiri kursi lipat yang telah tersedia di halaman rumahnya.


Menumpang Madrasah

Ia mengakui, sejak berdirinya SMP T911, dia dan suaminya yang mengajar peserta didiknya. Setelah suaminya meninggal dunia 2018 lalu tepatnya saat sekolah itu menumpang di madrasah, Cucu mengajar seorang diri siswa kelas 7 sampai 9.

"Saya ngajar estapet. Setelah ngajar kelas 7, terus ngajar kelas 8, lalu kelas 9. Begitu seterusnya sampai jam pelajaran habis. Alhamdulillah sudah biasa dengan tehnik dan metode lari-lari ke kelas lain," ungkap Cucu.

Meski berjuang seorang diri, lanjut dia, semangatnya tak pernah padam. Ia memberikan ilmu kepada seluruh siswa sesuai dengan kurikulum. Tak hanya itu, siswa belajar selama lima hari seperti sekolah pada umumnya.

''Untuk hari Sabtu kita belajar di outdoor," jelas Cucu.
Cucu mengaku mengajar di sekolah itu hanya mendapat honor sebesar Rp 260 ribu per bulan. Itu pun dibayar tiga bulan sekali berasal dari dana BOSS.
"Honor dibayar dari dana BOSS SMPN 1 Cijeruk. Saya ikhlas karena niatnya ingin bantu anak-anak kurang mampu," kata dia.

Namun begitu, dirinya berharap ada pihak yang mau membantu mendirikan atau menyewakan gedung untuk peserta didiknya agar mereka bisa belajar dengan tenang, aman dan nyaman.
"Kalau anak-anak sih engga manja, paling ngeluh panas aja. Karena ada yang belajat tanpa pake terpal," kata dia.

Share:

5 Jurus Pemkot Surabaya Perbaiki Kualitas Pendidikan

Ilustrasi pendidikan, ilustrasi beasiswa. Kredit: Freepik.com

Kota Surabaya dikenal sebagai kota yang telah menghasilkan aneka program terkait pendidikan. Program tersebut kini menuaikan hasil.
Bahkan, ada beberapa pihak yang menanyakan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) mengenai langkah apa yang telah diterapkan sehingga kualitas pendidikan di wilayahnya semakin membaik.

Sebelumnya, pemkot Surabaya telah menjalankan program-program yang dengan harapan dapat memajukan taraf pendidikan di kotanya. Melihat kondisi dari anak-anak di Surabaya, wali kota perempuan itu menyadari bukanlah hal yang mudah dalam memperbaiki pendidikan.

Ketika masuk satu tahun kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini, ia tahu kalau wilayahnya memiliki masalah terkait pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah karena daerah itu memiliki enam distrik lampu merah atau area prostitusi yang beroperasi.

Lingkungan seperti inilah yang menjadi alasan jumlah siswa putus sekolah di Surabaya semakin meningkat. Lalu, langkah dan tindakan apa saja yang dilakukan oleh pemkot setempat untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Surabaya?
Berikut ini, Liputan6.com rangkum jurus pemkot Surabaya meningkatkan kualitas pendidikan di Surabaya dari berbagai sumber:

1.Membentuk Banyak Inisiatif

- Pada 2011, Pemkot Surabaya membuat program pendidikan gratis, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah dan kejuruan.
- Pemkot Surabaya memberikan kesempatan bagi anak-anak yang tinggal di area prostitusi untuk mendaftar sekolah gratis yang terletak di tempat terdekat dengan rumah mereka.
- Selain dibebaskan bersekolah dengan tanpa biaya, anak-anak juga diberikan seragam, tas, sepatu, dan peralatan lainnya yang dibutuhkan secara gratis pula.
- Dikarenakan banyak dari mereka yang lebih memilih untuk tidak bersekolah, sebab mereka terbiasa mendapatkan uang dengan cara mengemis atau mengamen di jalan, pemkot Surabaya membangun tempat perlindungan gratis untuk menampung anak jalanan itu.
- Pemkot Surabaya memberikan perawatan yang tepat untuk anak-anak, serta dukungan untuk pengembangan bakat.

Perbaiki Kualitas Pendidikan

2.Memberikan Pelatihan Keterampilan dan Sarana Tempat Belajar

- Sebelumnya, pada 2010 pemkot Surabaya mengeluarkan program Pahlawan Ekonomi yang menargetkan ibu rumah tangga keluarga miskin dan melatih mereka untuk menjadi wirausaha perempuan.
- Menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, kondisi ekonomi dan kemiskinan keluarga menjadi salah satu pemicu anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang memadai.
- Bagi siswa yang tidak melanjutkan ke universitas dan ingin mulai bekerja, pemkot Surabaya memberikan pelatihan gratis dan dukungan untuk pemasaran produk melalui program Pejuang Muda. Dukungannya berupa beasiswa untuk sekolah hotel, sekolah desain mode, dan sekolah penerbangan.
- Langkah berikutnya yaitu pemkot setempat membangun 1.430 perpustakaan umum dan sudut baca yang tersebar di seluruh kota, termasuk di taman kota dan di daerah perumahan yang miskin.
- Memberikan sarana dan prasarana berupa Rumah Bahasa, Rumah Matematika, Broadband Learning Center (BLC), serta ruang kerja bersama koridor yang tak hanya difungsikan untuk startup, tetapi juga bagi siswa untuk mengakses materi pembelajaran online secara gratis.
- Pemkot Surabaya mengembangkan 78 sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus yang banyak datang dari keluarga kurang mampu. Ada juga tempat perlindungan sosial untuk melanjutkan kehidupan dan mengembangkan keterampilan mereka.
- Pemkot Surabaya menyiapkan berbagai pelatihan keterampilan seperti olahraga, seni, dan musik di ruang publik seperti di Balai Kota dan dan Taman Kota.

3. Menerapkan Pendidikan Online dan Pendidikan Kampung

- Pihaknya telah menerapkan program pendidikan online, di mana para siswa dapat ujian secara online, laporan online, dan orang tua dapat memantau kinerja anak mereka di sekolah menggunakan platform online tersebut.
- Menggelar kompetisi regular tentang robotika dan penelitian, serta pekan seni pertunjukan siswa untuk menampilkan kebisaan mereka dalam tarian tradisional, membaca puisi, drama, dan lain sebagainya.
- Menjalankan program Pendidikan Kampung atau lingkungan. Program itu bertujuan  semua lingkungan di kota harus menunjukan dukungan kepada anak usia sekolah untuk belajar dan membantu mengurangi potesi kenakalan remaja, serta mempromosikan melek huruf.

Seluruh rangkaian usaha Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam memperbaiki kualitas pendidikan di kotanya terbukti sudah membuahkan hasil, yaitu Surabaya dianugerahi UNESCO Learning City Awards pada 2017.

Bangun Sanggar Kegiatan Belajar

4. Kurangi Anak Putus Sekolah lewat Sanggar Kegiatan Belajar

Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan baru-baru ini memberikan fasilitas bagi anak putus sekolah berupa program Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Negeri 1 Surabaya.

SKB ini merupakan sekolah nonformal setara dengan SMA/SMK/Ma.  Bedanya, anak putus sekolah di Surabaya yang tergabung juga mendapat fasilitas memilih vokasi yang paling diminati sehingga output peserta akan memperoleh Ijazah Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan Paket C dan Sertifikat Pelatihan Uji kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) Kemendikbud.
Sejumlah vokasi yang disiapkan untuk calon siswa sesuai dengan minatnya. Vokasi tersebut mulai dari tata boga, otomotif, barista, fashion, komputer, dan seni musik.

Pemkot Surabaya menyiapkan SKB tersebut di SMP Negeri 60 dengan lima kelas khusus.Untuk ikuti tersebut juga ada SKB-nya antara lain Pertama, peserta asal Kota Surabaya yang dibuktikan dengan Kartu Keluarga (KK). Kedua, peserta telah lulus SMP sederajat atau paket B dan memiliki ijazah serta SKHUN.  Ketiga, bagi mereka yang sudah pernah bersekolah di SMA, peserta wajib menyertakan raport dan dalam kondisi rentan atau putus sekolah. Dan syarat terakhir adalah usia minimal 16 hingga 21 tahun.

5. Tingkatkan Kualitas Literasi

Pemkot Surabaya melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan meningkatkan kualitas literasi untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Surabaya. Salah satunya dengan menambahkan jumlah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang tersebar di Kota Surabaya.

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya, Musdiq Ali Suhudi mengatakan, berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tahun 2019, Pemkot Surabaya menambah 66 TBM yang terletak di balai RW dan rusun se-Surabaya.
"Saat ini total TBM yang ada 467, dan targetnya penambahan 66 TMB baru tersebut selesai di bulan Oktober 2019,” kata Musdiq, Rabu, 11 September 2019.

Ia menuturkan, TBM dikembangkan di kantong-kantong pemukiman masyarakat bertujuan agar akses literasi lebih mudah dijangkau. Selain itu, masyarakat bisa mendapat akses literasi secara merata.
“Sehingga dalam hal ini, masyarakat mempunyai alternatif sumber bacaan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding menggunakan gadget,” ujar dia.

(Wiwin Fitriyani, Mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Share:

Recent Posts